ThePhrase.id – Setelah lebih dari dua dekade menekuni olahraga bela diri Shorinji Kempo, Dany Prihandoko kini lebih sering terlihat di sisi lapangan sebagai pelatih ketimbang di atas tatami sebagai atlet. Sosok yang dulu identik dengan sabuk hitam dan medali emas kini menjalani peran baru, yakni membentuk generasi penerus dan memperdalam makna olahraga sebagai sarana kesehatan.
Di GOR Cempaka Putih, Jakarta, setiap pekan Dany melatih para muridnya di Dojo Rawasari, tempat yang sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil karena menjadi tempat latihannya sedari tahun 2004.
"Saya latihan dari kecil di sini. Dari 2004, ternyata sudah 21 tahun ikut Kempo," ujar mantan atlet bernama lengkap Pratama Dany Prihandoko tersebut, dikutip dari laman MK+ Media Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (10/10/2025).
Bagi Dany, Shorinji Kempo bukan sekadar seni bela diri. Ia memandangnya sebagai filosofi hidup yang mengajarkan keseimbangan antara kekuatan fisik dan pembentukan karakter. Ini dikarenakan bela diri asal Jepang tersebut menggabungkan pukulan, tendangan, bantingan, hingga kuncian.
Perjalanannya menuju sabuk hitam tak selalu mulus. Saat kecil, orang tuanya sempat melarang Dany berolahraga berat setelah ia mengalami patah tulang. Namun, rasa penasaran terhadap Kempo muncul ketika seorang teman mengajaknya mencoba.
Latihan pertamanya berakhir dengan tubuh lemas dan muntah, tapi justru di situlah tekadnya terbentuk. Diam-diam ia terus berlatih hingga akhirnya memenangkan medali emas pertamanya di kejuaraan antar-dojo, sebuah prestasi yang membuat orang tuanya akhirnya memberi restu.
Nama Dany mulai dikenal di kancah internasional sejak 2009 ketika ia menjadi runner-up Kejuaraan Dunia Sabuk Hitam di Bali. Setahun berselang, ia dipanggil untuk memperkuat tim nasional bertanding di SEA Games 2011.
Meski harus membagi waktu antara kuliah dan latihan, ia tak menyerah. Nilai akademiknya sempat merosot tajam, tetapi Dany berhasil lulus tepat waktu sambil membawa pulang medali emas dari SEA Games 2011 dan 2013, serta meraih gelar atlet terbaik di tahun 2012.
Setelah menutup karier profesionalnya sebagai atlet di PON 2016, Dany merasa perlu mencari “arena” baru untuk berkembang. "PON sudah, SEA Games sudah, Kejuaraan Dunia juga sudah. Apa lagi yang harus saya capai?" tuturnya.
Setelah mencari, ia menemukan hal baru yang ingin ia pahami, yakni olahraga dari sisi lain, sebagai sarana untuk menjaga kesehatan. Ide itu mengantarkannya pada beasiswa LPDP, yang akhirnya membawanya ke Inggris untuk menempuh studi Physical Activity for Health di University of Edinburgh pada 2019. Beasiswa ini ia dapatkan setelah beberapa kali gagal.
"Jadi atlet itu tidak berhenti di pertandingan. Banyak yang lupa menang dalam hidup. Pendidikanlah yang membantu saya menyadari transisi itu," jelas Dany soal transisi hidup yang dipilihnya.
Sepulang dari Inggris, Dany kembali aktif di dunia olahraga sebagai pelatih di bawah KONI DKI Jakarta sekaligus sports program specialist. Fokusnya kini adalah mempersiapkan tim Kempo DKI Jakarta untuk PON 2028, dengan harapan bisa membawa anak didiknya ke puncak prestasi.
Peran baru ini membuat Dany belajar lebih banyak tentang kesabaran dan tanggung jawab. Terdapat beberapa hal yang ia alami setelah menjadi pelatih, bukan ketika menjadi atlet, seperti tingkat stres yang lebih tinggi hingga penyakit maag.
Meski begitu, Dany menikmati perannya sebagai pembimbing. Ia mengibaratkan pelatihan seperti menempa pedang, memilih bahan terbaik, membentuknya, lalu mengasahnya hingga tajam sempurna. Di luar Jakarta, ia juga bermimpi mengembangkan olahraga kesehatan berbasis Kempo di Sukabumi.
Bagi Dany, perjalanan hidupnya kini bukan lagi tentang mengalahkan lawan, melainkan tentang menyalakan semangat juang dalam diri orang lain sebagai seorang mentor, kakak, dan bahkan orang tua. Karena hal ini merupakan sebuah kemenangan yang jauh lebih bermakna. [rk]