ThePhrase.id – Seluruh buruh migran yang bekerja di negara lain memiliki tujuan yang rata-rata sama, yakni untuk memperbaiki nasib dan menghidupi keluarga yang berada di kampung halaman. Tujuan ini tak terkecuali untuk sosok Eni Lestari Andayani Adi.
Eni yang berasal dari Kediri, Jawa Timur ini merantau ke Hong Kong pada tahun 1999 setelah kondisi keluarganya terpuruk akibat krisis yang melanda Indonesia kala itu. Krisis tersebut membuat keluarganya tak bekerja, kehilangan harta, dan putus sekolah.
Bertahun-tahun merantau, Eni bukan hanya menjadi seorang tenaga kerja wanita (TKW), tetapi ia juga aktif pada berbagai organisasi buruh. Bahkan, ia juga terpilih menjadi ketua International Migrants Alliance (IMA).
Eni Lestari. (Foto: Instagram/enilestariadi)
Di tahun 2016, posisinya sebagai ketua aliansi imigran internasional ini membuat dirinya dapat mengikuti seleksi yang akhirnya berkesempatan untuk berpidato di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Migran dan Pengungsi (High Level Summit on Migrant's and Refugees) di Kantor Pusat PBB, New York, Amerika Serikat (AS).
Di depan para pemimpin PBB, beberapa kepala negara, menteri, sektor swasta, organisasi internasional, akademisi, hingga masyarakat sipil, Eni menyampaikan tentang kondisi buruh migran di dunia, termasuk para buruh migran asal Indonesia.
IMA sendiri merupakan organisasi yang didirikan pada tahun 2008 di Hong Kong dengan tujuan memperkuat dan mengedepankan suara para migran terkait isu-isu yang mempengaruhi mereka dan keluarganya. IMA juga bertujuan untuk memberdayakan para pekerja migran, imigran, dan pengungsi, khususnya perempuan dan anak-anak.
Hingga saat ini, Eni masih aktif sebagai ketua dari IMA. Di tahun 2022 lalu, Eni kembali menghadiri sebuah forum internasional, yakni Multi Stakeholder Meeting IMRF di New York, AS. Hal ini ia bagikan pada laman Instagram pribadinya.
Eni Lestari pada UN Summit for Refugees & Migrants Opening Ceremony. (Foto: Youtube/UN NGLS)
"Proses menuju Forum Peninjauan Migrasi Internasional (IMRF) ini sendiri tidak jelas dan tidak transparan. Inilah yang membuat saya punya pertanyaan besar, lalu bagaimana kesepakatan Global Compact Untuk Migrasi (GCM) dapat menyelesaikan pelanggaran- pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa buruh migran jika pertemuan IMRF itu sendiri tidak memprioritaskan buruh migran? Kamilah yang kehilangan kerja. Kamilah yang dikriminalisasikan, ditangkap dan ditahan. Kamilah yang dikecualikan dari perlindungan perburuhan dan sosial. Kamilah yang kelangsungan hidupnya sedang yang dipertaruhkan. Akan tetapi, kami justru yang dikesampingkan," tulisnya.
Selain Ketua IMA, ia juga menjadi koordinator Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR), pengurus JBMI, juru bicara Asian Migrants Coordinating Body (AMCB), dan masih banyak lagi.
Alasan menjadi aktivis
Dengan pencapaiannya dan rasa kepedulian yang tinggi pada buruh migran, mungkin tak sedikit orang yang bertanya-tanya, apa alasan dirinya menjadi aktivis?
Eni Lestari. (Foto: Instagram/enilestariadi)
Semuanya bermula ketika ia pertama kali datang ke Hong Kong untuk bekerja di tahun 1999. Di rumah pertama ia bekerja, paspornya disita dan ia tak digaji sepeserpun selama tiga bulan pertama dan tak mendapatkan hari libur.
Tak berhenti di situ, ia bahkan tak diberi makan dan tempat tidur yang layak. Alhasil, Eni kabur dari rumah majikannya setelah enam bulan bekerja. Ia ditampung di penampungan Bethune House dan bertemu buruh migran dari Indonesia dan negara-negara lain seperti India, Nepal, dan Filipina.
Pada penampungan tersebut, ia mendapatkan edukasi tentang aturan ketenagakerjaan, aturan hukum yang berlaku, hingga hak-hak yang dimiliki para buruh migran. Di sana, ia juga membangun Asosiasi Buruh Migran Indonesia dan ia menjadi ketua selama 10 tahun.
Baru lah ia mengerti bahwa ia telah ditipu baik oleh agen pengirim dan majikan tempatnya bekerja dengan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai buruh migran. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk menuntut hak pada majikannya.
Eni Lestari. (Foto: Facebook/Eni Lestari Andayani)
Usahanya membuahkan kemenangan atas majikannya dan ia mendapatkan gaji yang tak dibayarkan. Di shelter tersebut, ia makin mendalami ilmu hukum dan advokasi, sehingga ia tergerak untuk menjadi seorang aktivis buruh migran.
Pada VOA Indonesia, Eni mengatakan bahwa dirinya kemudian menjadi aktivis karena sebagai buruh migran, ia merasa bahwa hak-haknya dieksploitasi.
"Semua migran pasti mengalami eksploitasi, bahkan sampai buruk sekali, jadi korban trafficking, ditipu. Saya juga termausk korbannya; saya dibayar tidak sesuai standard dan tidak dikasih hari libur," tuturnya, dilansir dari VOA Indonesia.
Berawal dari pengalaman pahit, mata seorang Eni Lestari kemudian terbuka dan membuatnya tergerak untuk menjadi garda depan dalam memperjuangkan hak-hak buruh migran hingga saat ini. Tak hanya di kancah nasional, tetapi di kancah global. [rk]