leader

Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia

Penulis Firda Ayu
Jan 30, 2022
Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia
ThePhrase.id – Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme Indonesia. Presiden Keempat Republik Indonesia ini dikenal dengan ketegasannya dalam membela hak kaum minoritas. Gus Dur juga dikenal dengan ungkapannya yang melegenda “Gitu aja kok repot”. Bagaimanakah perjalanan karir Gus Dur hingga menjadi presiden?

Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, namun karena nama ini tidak begitu dikenal ia kemudian mengganti namanya dengan Abdurrahman Wahid. Ia lahir di keluarga terpandang dalam lingkungan pesantren.

Kakeknya, KH Hasyim Asy’ari merupakan pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdatul Ulama (NU). Tak hanya itu, ayahnya, KH Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949.

Gus Dur merupakan presiden yang secara terbuka mengakui bahwa ia merupakan keturunan kaum minoritas yaitu, Tionghoa. Darah Tionghoa ini ia dapat dari Tan Kim Han, yang kemudian diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini.

Gus Dur
Abdurrahman Wahid, Gus Dur (Foto: instagram/jaringangusdurian)


Ia memiliki latar belakang pendidikan pesantren yaitu Pesantren Tegalrejo, Magelang dan Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sembari melanjutkan pendidikan ia juga memulai karirnya sebagai seorang guru hingga kemudian menjadi kepala sekolah madrasah.

Tak puas hanya belajar agama di pesantren, ia kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir pada tahun 1963, melalui beasiswa pemerintah. Di Mesir, ia menjadi jurnalis majalah dan tergabung dalam Asosiasi Pelajar Indonesia.

Saat peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi, ia ditunjuk untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia merasa tidak cocok dengan Mesir hingga kemudian pindah dan meneruskan pendidikannya dengan beasiswa di Universitas Baghdad. Meski demikian, ia tetep aktif sebagai anggota dan penulis majalah Asosiasi Pelajar Indonesia.

Lulus dari Baghdad, ia sebenarnya ingin kembali mengenyam pendidikan di Universitas McGill, Kanada dengan bergabung dalam Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Ia menjadi salah satu kontributor utama majalah di lembaga tersebut dan berkeliling pesantren di seluruh Jawa.

Gus Dur
Gus Dur di tahun 1980 (Foto: instagram/jaringangusdurian)


Dalam perjalanannya berkeliling pesantren, ia melihat bahwa nilai-nilai pesantren mulai luntur akibat kesusahan dalam pendanaan. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Ia meneruskan karirnya di Indonesia dengan menjadi jurnalis di Majalah Tempo dan Koran Kompas. Meski tulisannya menarik dan diterima dengan baik oleh masyarakat ia merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia kemudian sempat melakukan pekerjaan tambahan dengan  berjualan kacang dan es lilin.

Gus Dur dan Perjuangannya untuk Kaum Minoritas


Meski kakeknya merupakan pendiri NU, ia sempat dua kali menolak bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Hingga pada tawaran ketiga di tahun 1980, ia kemudian tergabung dengan NU dan sempat menjabat sebagai Katib Awwal PBNU dan juga sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.

Melalui NU, ia memperoleh pengalaman berpolitik dengan bergabung dalam pemilihan umum legislatif di tahun 1982 dengan partai PPP. Karier politiknya menanjak hingga ia tergabung sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 1989.

Gus Dur
Gus Dur mengunjungi masyarakat Papua (Foto:instagram/jaringangusdurian)


Puncak karier politiknya adalah saat ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pada tahun 1999. Ia dikenal dengan presiden yang memiliki pendekatan yang dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa.

Ia dikenal sebagai presiden yang begitu mengayomi kaum minoritas seperti simpatik pada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain.

Tak hanya itu, Gus Dur juga sering mengeluarkan pernyataan kontroversial, seperti menyebut anggota MPR RI seperti anak TK. Gus Dur juga merupakan presiden yang meletakan Imlek sebagai hari libur nasional. Ia juga mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa yang berlaku pada masa Orde Baru.

Sayangnya ia hanya menjabat sebagai presiden selama 20 bulan saja akibat ketidakharmonisan dengan berbagai pihak dalam politik. Ia kemudian secara resmi diberhentikan sebagai Presiden RI oleh MPR dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Diberhentikan menjadi presiden tak membuatnya berhenti memperjuangkan hak kaum minoritas. Gus Dur masih bersedia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM dan Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional pada tahun 2002 dan 2003.

Ia sempat berupaya untuk menjadi Presiden RI Kembali namun gagal akibat tidak lolos pemeriksaan kesehatan. Di tahun 2009, ia menderita beberapa penyakit seperti stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Komplikasi penyakit ini menurunkan kesehatannya hingga ia wafat pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Selalu berjuang membela hak minoritas dan toleransi antar agama, Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. [fa]

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic