
ThePhrase.id - Dalam ajaran agama Islam ada sebuah amalan syariat yang dikenal dengan Aqiqah. Aqiqah dalam pengertian bahasa artinya memotong (al qath’u).
Maka aqiqah merupakan penyembelihan hewan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Allah SWT, dengan persyaratan-persyaratan tertentu berdasarkan dalil. Dan telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin bahwa ibadah haruslah berlandaskan atas dalil (baik dari al-Qur’an, hadits, atau contoh dari sahabat Rasulullah) termasuk dalam perkara aqiqah.
Kebanyakan ulama berpandangan bahwa hukum melaksanakan aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang utama), meskipun ada juga yang menyatakan wajib.
Dasar hukum dari pelaksanaan aqiqah adalah hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Samurah bin Jundub:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap anak yang baru lahir itu tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihkan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR Abu Dawud dan An-Nasai).
Jika berdasarkan kutipan dari hadits Rasulullah diatas, (تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ) artinya “yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya” maka sunnah paling utama adalah di hari ke 7 di mana hari kelahirannya dihitung sebagai hari pertama. Namun apabila disembelih di hari lain, maka itu juga sah berdasarkan keumuman hadits Sulaiman bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
Bersama anak bayi ada aqiqah, maka sembelihlah sembelihan dan hilangkan gangguan darinya (dengan mencukur rambutnya). (HR. Bukhari).
Ada pula riwayat yg berasal dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan jika tidak mampu melaksanakan aqiqah pada hari ke 7 maka boleh menyembelih hewan aqiqah pada hari ke 14 ataupun hari ke 21, dan pendapat ini dibenarkan oleh pengikut Mazhab Hambali.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap gugur jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah untuk tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.
Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” sebuah kitab ensiklopedi fiqih kontemporer, menjelaskan tentang perhitungan hari ketujuh dari kelahiran anak bayi, bahwa: waktu siang (sebelum maghrib) pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam tidak jadi hitungan jika bayi dilahirkan malam (setelah maghrib), dan yang jadi hitungan bila bayi dilahirkan malam setelah maghrib adalah hari berikutnya.
Sebagai contoh: Ada bayi yang lahir pada hari Senin (tanggal 10), pukul lima pagi atau pukul lima sore sebelum maghrib, maka hitungan hari ketujuh sudah dihitung pada hari Senin tersebut, sehingga aqiqah bayi itu dilaksanakan pada hari Ahad (tanggal 16).
Dan jika bayi lahir pada hari Senin (tanggal 10), pukul enam sore atau setelah maghrib, maka hitungan awalnya tidak dimulai di hari Senin, namun di hari Selasa (tanggal 11) keesokan harinya, sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (tanggal 17).
Semoga contoh ini bisa dipahami dan bermanfaat. (Z. Ibrahim)