ThePhrase.id – Terlahir sebagai anak petani yang masa kecilnya serba kekurangan, Heni Sri Sundani bangkit dari kemiskinan dan berikan pendidikan kepada anak-anak petani hingga jadi sarjana. Tujuannya untuk berantas kemiskinan sehingga bisa hidup mandiri.
Melalui Anak Petani Cerdas yang ia dirikan, Heni ajarkan pendidikan non formal pada anak-anak petani untuk bangkit, untuk terus belajar, dan untuk tidak menerima kemiskinan tersebut, tetapi keluar dari kemiskinan melalui pendidikan.
Awal mula ia membangun gerakan Anak Petani Cerdas tersebut pun tak mudah. Tidak sedikit orang tua yang perlu diberi pengertian akan pentingnya pendidikan. Ia menjadikan dirinya sebagai contoh, bahwa ia dapat berada di depan orang tua tersebut dengan gerakan ini karena ia mengejar pendidikan. Dan karena Heni percaya pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan.
“Saya selalu mengatakan kepada mereka (orang tua anak-anak), saya tuh percaya bahwa pendidikan itu senjata paling ampuh untuk memutus rantai kemiskinan,” ujar Heni pada acara Female Zone dengan Berita Satu.
Pada gerakan tersebut, fokusnya diarahkan pada meningkatkan kemampuan literasi baca tulis, kemampuan berkomunikasi, kemampuan pertanian yang modern seperti hidroponik, hingga memberikan pembelajaran keterampilan komputer. Di luar itu, diberikan juga pendidikan karakter untuk menciptakan akhlak yang baik dan mental yang kuat untuk survive di masa depan.
Bukan hanya anak petani yang dapat belajar pada gerakan Anak Petani Cerdas ini. Anak para nelayan, anak penambang pasir, pemulung, pemilah sampah, tukang ojek, asisten rumah tangga, hingga anak TKI dapat ikut menimba ilmu.
Anak didik Anak Petani Cerdas (Foto: Instagram/henisrisundani)
Bahkan, banyak relawan dari luar negeri yang ikut mengajar, sehingga para anak didik juga diajarkan bahasa asing dari tempat relawan itu berasal. Selain itu, para anak juga diperkuat pelajaran bahasa Indonesia serta bahasa lokal tempat mereka berada.
Anak Petani Cerdas ini sendiri berdiri dari Bogor, dengan hanya 15 anak didik pada tahun 2013. Kini, Heni telah mengembangkan gerakan ini ke beberapa daerah di Indonesia seperti di Lombok, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Sebanyak 8.700 anak telah menerima manfaat pendidikan tersebut hingga, 1.000 di antaranya mendapatkan beasiswa dan lulus menjadi sarjana.
Sebagai atapnya, terdapat yayasan yang menaunginya yakni Empowering Indonesia Foundation yang memilari 4 program. Program-program tersebut adalah pendidikan melalui Anak Petani Cerdas; kesehatan melalui gerakan beras untuk lansia, pos kesehatan, edukasi kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan social emergency.
Gerakan beras untuk lansia. (Foto: Instagram/henisrisundani)
Diasuh Nenek
Heni kecil diasuh oleh sang nenek yang ia panggil ‘Emak’. Pasalnya, saat ia kecil, sang ayah dan ibu berpisah. Ibunya bekerja di pabrik, sehingga ia diasuh oleh sang nenek. Meskipun demikian, semangatnya untuk sekolah tak pernah kendor.
Saat ia bersekolah dulu, Heni harus menempuh waktu berjam-jam dengan berjalan kaki untuk mencapai sekolahnya. Saat SD, ia harus berjalan kaki selama 2 jam untuk pulang pergi. Bahkan saat SMP ia harus menempuh 4 jam perjalanan untuk pulang pergi.
Namun semangatnya tak pernah surut. Heni ingin terus belajar dan belajar. Sayangnya, sering kali sudah menempuh perjalanan jauh ke sekolah, di sekolah gurunya suka tak ada, sehingga para murid hanya diminta untuk mengerjakan tugas pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Tak jarang juga ia diberi pekerjaan rumah (PR), namun karena tidak ada listrik jadi menggunakan lampu templok, membuat hidungnya hitam-hitam sambil mengerjakan PR. Saat di sekolah, PR tersebut ternyata tidak diperiksa oleh sang guru.
Atas pengalaman kurang menyenangkan yang ia dapat, Heni malah bercita-cita sebagai guru. “Aku nih kalo udah gede pengen jadi guru yang gak pernah menyia-nyiakan semangat anak didiknya untuk belajar,” ujarnya pada wawancara Sobat7 Kepo! bersama Trans7.
Anak didik Anak Petani Cerdas. (Foto: Instagram/henisrisundani)
Ia juga mengaku memiliki keinginan belajar yang besar. Tetapi tidak ada yang bisa mengajarinya. Di sekolah guru suka tidak ada. Di luar sekolah, Emak buta aksara dan tak bisa baca tulis, sehingga tak bisa mengajarinya. Tak jarang ia menangis saat mengerjakan PR karena tidak tahu cara mengerjakannya dan tidak ada yang bisa ia tanyai.
Selulusnya dari SMK, ia ingin mewujudkan mimpinya sebagai guru dengan melanjutkan ke jenjang sarjana. Sayang, ia sadar keadaan ekonomi keluarganya, untuk makan saja hanya bisa makan nasi satu kali sehari. Bahkan, rumahnya hampir ambruk saat itu.
Menerima realita, ia sadar tidak dapat langsung melanjutkan kuliah. Mengambil jalan pintas, Heni kemudian mendaftar untuk menjadi TKI ke Hong Kong. Setelah beberapa waktu bekerja sebagai asisten rumah tangga di sana, sembari mencari-cari informasi kuliah, Heni akhirnya dapat melanjutkan pendidikannya di Saint Mary’s University, Hong Kong.
Heni Sri Sundani. (Foto: Instagram/henisrisundani)
Namun, perjalanannya menjadi TKI dan berjuang untuk berkuliah penuh dengan rintangan. Pada majikan pertamanya, ia pernah dicaci maki karena ketahuan sedang membaca koran dan buku. Untungnya, majikan keduanya berbaik hati dan memperbolehkannya bekerja sambil kuliah.
Upahnya menjadi TKI ia kirim ke Indonesia, karena sang ibu sudah tidak bekerja dan rumah dalam keadaan kurang baik. Untuk menambah uang kuliah dan kehidupan sehari-hari, Heni menjajal sebagai kontributor penulis untuk koran dan majalah di Hong Kong dan Indonesia.
Kegemarannya pada menulis berawal dari gemar membaca. Latar belakang ia gemar membaca juga dapat dikatakan inspiratif. Saat ia masih SD, teman-teman satu kelasnya ke kantin untuk jajan. Sedangkan Heni tak pernah diberi uang saku. Maka dari itu, ia mengumpat di gudang bekas perpustakaan. Ia melihat banyak buku di sana, sehingga ia mulai baca satu per satu yang membuatnya akhirnya gemar membaca.
Heni Sri Sundani. (Foto: Instagram/henisrisundani)
Keberhasilannya meraih gelar sarjana di Hong Kong tak lepas dari tekad awalnya saat berangkat menjadi TKI. Ia bertekad ‘berangkat boleh jadi TKI, tapi pulang harus jadi sarjana’. Hingga setelah lulus sarjana, ia kembali ke Indonesia untuk mengabdi dan mendidik anak-anak petani seperti dirinya.
Berkat tekad, niat, dan semangatnya dalam meraih pendidikan dan mengajarkan anak-anak petani lain, Heni telah mendapatkan berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya adalah menjadi salah satu 30 under 30 Asia dari Forbes pada tahun 2016 dalam kategori Social Entrepreneurs Heni juga mendapat penghargaan Her Times Women Empowerment Awards Singapore pada tahun 2018. [rk]