ThePhrase.id - KH Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia merupakan seorang pahlawan nasional yang memiliki gelar Hadratussyaikh yang berarti Maha Guru dan Syaikhul Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.
Muhammad Hasyim Asy'ari mendirikan NU pada 31 Januari 1926. Didirikannya NU ini adalah sebagai salah satu upaya melembagakan tradisi keagamaan dan Ahlussunnah wal Jama'ah, sekaligus juga sebagai salah satu tindakan dari kondisi yang kala itu dikatakan genting.
Kondisinya adalah di daerah Timur Tengah sedang terjadi momentum yang mengancam kelestarian Ahlusunnah Wal Jama'ah terkait dengan penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern. Maka dari itu beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram untuk mendesak berdirinya organisasi demi menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama'ah.
KH Hasyim Asy’ari. (Foto: nu.or.id)
Para ulama di Arab Saudi kemudian mengirimkan pesan pada Kiai Hasyim untuk mengunjungi dua ulama besar di Indonesia pada saat itu, yakni Habib Hasyim dari Pekalongan dan Syaikhona Kholil dari Bangkalan. Apabil kedua ulama tersebut merestui, maka dapat segera didirikan organisasi NU.
Syaikhona Kholil dalam memberikan jawabannya mengirimkan seorang utusan yang bernama Kiai As'ad. Pada Kiai As'ad, Syaikhona Kholil membawakan tongkat dan Surat Thaha ayat 17-23. Kemudian Syaikhona kembali mengirim Kiai As'ad untuk mengantarkan tasbih dan bacaan Yaa Jabbar Yaa Qahhar.
Menerima utusan dan kedua barang tersebut, Kiai Hasyim mengartikan bahwa Syaikhona Kholil telah memberikan restu untuk mendirikan Jami'iyah Nahdlatul Ulama. Setelah berkumpul bersama ulama se-Jawa dan Madura di Surabaya, akhirnya NU berhasil didirikan.
Masa Kecil dan Keluarga Kiai Hasyim
KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871. Ia merupakan anak dari KH Asy'ari dan Nyai Halimah. Lingkungan hidup kedua orang tuanya religius di pesantren, sehingga Kiai Hasyim juga tumbuh di lingkungan pesantren.
Kakeknya dari sang ibu, yakni Kiai Utsman merupakan seorang pendiri pesantren di daerah Gedang. Kakek sang ibu yang bernama Kiai Shihah merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.
Ia lahir di daerah Gedang, kemudian berpindah ke desa Keras di Jombang. Di Keras, sang ayah dan ibu membangun sebuah pesantren yang masih tenar hingga saat ini, yang bernama Pesantren Keras.
Hasyim kecil tumbuh dan besar di Jombang, hingga akhirnya berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hingga menimba ilmu di Tanah Suci Mekkah.
Di usianya yang menginjak 21 tahun, ia menikah dengan Nyai Nafisah. Namun, di usianya yang masih muda, sang istri berpulang ke Rahmatullah. Kiai Hasyim kemudian kembali menikah, kali ini dengan Nyai Khadijah, dan kembali ditinggal wafat.
Untuk ketiga kalinya, ia menikah lagi dan dikaruniai 10 orang anak, dengan Nyai Nafiqah. Meski pernikahannya kali ini berusia cukup panjang, ia kembali ditinggal oleh sang istri menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
KH Hasyim Asy’ari. (Foto: nu.or.id)
Terakhir kalinya, ia menikah dengan Nyai Masrurah dan dikaruniai 4 orang anak. Dari 14 orang anaknya, salah satunya yang dikenal secara luas oleh masyarakat adalah KH Abdul Wahid Hasyim.
KH Abdul Wahid Hasyim merupakan seorang pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara dan Menteri Agama pada era orde lama. Ia juga merupakan ayah dari Presiden Indonesia ke-4, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sehingga, Gus Dur merupakan cucu dari seorang ulama besar dan pahlawan nasional KH Hasyim Asy'ari.
Pendidikan Kiai Hasyim
Karena dikelilingi dan tumbuh di lingkungan pesantren dengan agama yang kental, Kiai Hasyim tumbuh besar sebagai pribadi yang haus akan pengetahuan agama Islam. Pendidikan agama Islam pertamanya didapatkan dari sang ayah yang juga mengasuh sebuah pesantren.
Dari ayahnya, Kiai Hasyim mengenal apa itu Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab, dan pelajaran Islam lainnya. Bahkan di usianya yang 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar di pesantren, dan mengajar santri yang lebih senior.
Pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim mulai berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Beberapa di antaranya adalah pesanten Wonokoyo di Probolinggo, pesantren Langitan di Tuban, pesantren Tenggilis di Surabaya, pesantren Kademangan di Bangkalan, dan pesantren Siwalanpanji di Sidoarjo.
Maka dari itu, ilmu agama yang ia dapatkan sangatlah banyak. Ia telah berhasil menguasai bidang kajian Islam, terutama tata bahasa Arab, sastra, fiqh, tasawuf, ilmu tauhid, Adab, tafsir, hadits, dan lain-lain.
Setelah menikah untuk pertama kali dan atas saran Kiai Ya'qub, ia kemudian terbang ke Tanah Haram untuk berguru pada ulama-ulama masyhur sekaligus menunaikan ibadah haji. Di Mekkah, ia berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa'id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqaf, dan masih banyak lagi.
Karena telah belajar dengan berbagai ulama masyhur di Tanah Suci dan memiliki prestasi yang cemerlang, Kiai Hasyim diberikan kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Bahkan, berbagai ulama ternama dari berbagai negara belajar kepada KH Hasyim. [rk]