
ThePhrase.id – Berangkat dari keluarga sederhana di Cilacap, Meilinda Damayanti tumbuh dengan pesan kuat dari orang tuanya: sekolah setinggi mungkin. Pesan sederhana itulah yang menjadi pijakan langkahnya hingga kini dikenal sebagai sosok inspiratif yang mampu memadukan dunia akademik dengan semangat wirausaha.
Sejak duduk di bangku SMA, Meilinda sudah menunjukkan kecintaannya pada geografi. Nilai ujian nasionalnya yang sempurna menjadi pertanda awal dari perjalanan akademiknya yang cemerlang. Ia melanjutkan pendidikannya di bidang geografi di Universitas Negeri Semarang, kemudian menempuh studi magister di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan fokus pada pengelolaan sumber daya pesisir.
Kecintaannya pada ilmu yang aplikatif ini membawanya ke berbagai pengalaman internasional, mulai dari Malaysia hingga Jerman, berkat prestasinya meraih berbagai program beasiswa bergengsi. Kini, Meilinda tengah melanjutkan studi doktoral di bidang Ilmu Geografi UGM melalui Beasiswa LPDP.
Di tengah kesibukannya sebagai akademisi dan peneliti, Meilinda memilih menapaki jalur yang tidak biasa: wirausaha wastra. Dari sinilah lahir Kainnesia, sebuah usaha yang menjadi wujud nyata kecintaannya pada budaya Indonesia karena berfokus pada produk tenun.

Bagi Meilinda, tenun bukan sekadar kain, melainkan simbol identitas dan kerja keras para pengrajin di berbagai daerah. Ia ingin menjadikan tenun sejajar dengan batik, yakni mendunia, membanggakan, dan dekat dengan generasi muda.
Kainnesia bermula dari jalur sederhana: jasa titip kain tenun. Dari sana, Meilinda melihat potensi besar untuk mengembangkan produk turunannya menjadi busana, tas, dan sepatu yang lebih relevan dengan pasar modern.
Berkat kegigihannya, usaha ini berkembang pesat. Kini Kainnesia menggandeng lebih dari 80 penenun, puluhan penjahit, serta tim inti di Yogyakarta. Tak hanya eksis di pasar nasional, Kainnesia mulai menapaki jalur ekspor ke Eropa, Amerika, hingga Asia Tenggara.
Kesuksesan itu tidak datang tanpa ujian. Pernah suatu waktu, Kainnesia menghadapi tantangan besar ketika stok menumpuk dan saldo tersisa hanya Rp27 juta, sementara upah penenun harus segera dibayarkan.

Alih-alih menyerah, Meilinda bergerak cepat menjual produk dari pintu ke pintu, menggandeng desainer, dan mengikuti pameran. Keberanian dan keteguhan itu membuahkan hasil usaha terselamatkan dan kepercayaan para mitra yang semakin kuat.
Filosofi bisnis Meilinda sederhana namun bermakna, membayar penenun lebih dulu. Bagi dirinya, Kainnesia bukan sekadar bisnis, melainkan ruang pemberdayaan.
Ia juga mendirikan workshop Swantara, tempat anak muda belajar menenun dan berpeluang membuka usaha sendiri. Baginya, semakin banyak pelaku muda di dunia wastra, semakin besar pula peluang pelestarian budaya Indonesia.
Kini, Kainnesia terus berkembang dan diakui sebagai UMKM unggulan melalui berbagai penghargaan nasional. Di balik semua capaian itu, berdiri sosok Meilinda Damayanti, seorang dosen, peneliti, sekaligus penggerak budaya yang membuktikan bahwa ilmu dan usaha dapat berjalan beriringan untuk membawa manfaat luas bagi masyarakat. [rk]