ThePhrase.id – Setiap orang pasti memiliki mimpi dan harapan, begitu juga dengan seorang pemudi bernama Waitatiri. Ia memiliki impian untuk memperjuangkan pendidikan informal untuk anak-anak di Indonesia.
Pendidikan informal sendiri adalah pembelajaran yang bisa diambil di luar lembaga pendidikan resmi seperti dari buku, televisi, animasi, dan lain-lain. Latar belakang yang mendorongnya untuk memperjuangkan pendidikan informal untuk anak-anak adalah pengalamannya sendiri.
Pada tahun 2020 ketika pandemi melanda, kegiatan belajar mengajar di sekolah turut terdampak dan harus digantikan secara daring. Tetapi, banyak anak-anak yang kurang mampu yang terkendala mengakses pendidikan karena tak memiliki gawai.
Berangkat dari isu tersebut, Wai yang kala itu berprofesi sebagai pengajar dan juga aktif menjadi volunteer pengajar bagi anak-anak SD tergelitik untuk melakukan sesuatu. Ia kemudian menginisiasi program "Ponsel untuk Sekolah" dengan mengajak teman-teman mengumpukan donasi demi membelikan gawai untuk yang kurang mampu.
Ketika program tersebut telah sukses dilaksanakan, Wai kemudian terpikirkan akan pentingnya pendidikan informal untuk anak-anak Indonesia. Sehingga, ketika keadaan membuat mereka terpaksa tak bisa ke sekolah, masih ada sarana edukasi lain.
Keinginan besar dan tekad yang kuat mengantarkannya memperoleh beasiswa LPDP di salah satu universitas top dunia, yaitu Harvard. Lebih tepatnya, perempuan yang akrab disapa Wai ini menempuh studi S-2 pada Harvard School of Education dengan jurusan Learning Design, Information and Technology.
Hebatnya, ketika banyak masyarakat Indonesia yang harus mencoba beberapa kali untuk mendapatkan beasiswa LPDP, Wai hanya membutuhkan satu kali percobaan. Menurutnya, value yang ia pegang dan alasannya ingin menempuh pendidikan tersebut menjadi rahasia yang membuatnya mampu lolos dalam satu kali percobaan ketika mendaftar LPDP.
Wai memulai studinya di Amerika Serikat pada tahun 2022 lalu. Meskipun ia mengalami ketakutan tak bisa beradaptasi dengan lingkungan belajar yang baru dan berbeda dari di Indonesia, seiring berjalannya waktu ketakutan itu menghilang. Mengambil short course sebelum perkuliahan dimulai juga membantu dirinya beradaptasi di lingkungan baru.
Learning Design, Information and Technology sendiri merupakan jurusan yang cakupannya luas menurut Wai. Jurusan ini bukan belajar membuat kurikulum, tetapi mendesain bagaimana cara pembelajaran dapat terjadi melalui media apapun, termasuk buku, televisi, permainan, hingga kegiatan outdoor seperti outbond.
Di akhir masa studinya, Wai bukan membuat paper atau jurnal sebagai proyek akhir untuk lulus. Ia memilih untuk membuat buku anak yang kemudian diberi judul "The Missing Colours". Buku ini mengangkat topik education in uncertainty, lebih spesifiknya ia memilih isu bullying.
Menurutnya, bullying atau perundungan adalah sebuah isu krusial yang paling urgen untuk diselesaikan di Indonesia. Di luar itu, sebagai penyintas perundungan ketika masih duduk di bangku sekolah dulu, Wai merasa tak ada referensi yang membahas tentang pengalaman yang dialaminya.
"Saya dulu mengalami bullying di sekolah dan merasa dari dulu bahkan sampai sekarang ketika saya mencari referensi kok enggak ada ya sesuatu yang ngebahas tentang pengalaman seperti saya. Kenapa enggak ada buku yang bisa menemani saya ketika saya menjadi korban? Sampai akhirnya saya harus pulih sendiri. Saat itu saya harus mencari tahu sendiri kenapa saya begini, kenapa saya sampai harus ibaratnya healing sendiri," ungkap Wai, dikutip dari laman Kemenkeu.
Meskipun Wai dapat mencari cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri seiring beranjak dewasa, ia berpikir bahwa di luar sana mungkin banyak penyintas lain yang membawa traumanya hingga dewasa. Maka dari itu, ia ingin membuat sebuah karya yang dapat menyebarkan kesadaran dan dapat menemani para korban perundungan.
"Karena itu, saya ingin buku ini semacam menjadi cara untuk memberi tahu bahwa walaupun seseorang sudah pernah mendapat bullying, di masa depan mereka bisa kok balik lagi menjadi manusia yang bahagia dengan lingkungan yang baik," lanjutnya.
Hebatnya, buku ini bukan menjadi sekadar proyek akhir belaka. Dosen Wai di Harvard menyampaikan kekagumannya terhadap buku tersebut dan meminta karya tersebut menjadi kurikulum bahan ajar di Harvard dan di Amerika Serikat.
Melihat kemungkinan yang tak terbatas seperti yang ia dapatkan dari dosennya, Wai tak ingin proyeknya berakhir sampai di situ. Alhasil, ia melanjutkan penulisan buku selanjutnya masih dengan topik yang sama tetapi dengan perspektif yang berbeda.
Selain proyek buku pribadinya, perempuan lulusan S-1 Sastra Jerman dari Universitas Indonesia ini juga memiliki program lainnya. Masih berhubungan dengan buku, ia menyusum platform Buku Buat Semua yang menggabungkan penulis dan ilustrator.
Konsepnya adalah para penulis dapat membagikan tulisannya dan kemudian anak diilustrasikan oleh ilustrator sehingga dapat tercipta sebuah buku untuk anak-anak. Buku tersebut kemudian dicetak dan didistribusikan secara cuma-cuma ke perpustakaan umum, sekolah, RPTRA, panti asuhan, dan dapat diakses secara gratis melalui website bukubuatsemua.com.
Dengan ini, ia memberikan platform untuk para penulis dari seluruh Indonesia dan juga ilustrator untuk berkontribusi bagi masyarakat. Meski awalnya ragu, ternyata respons dari publik sangat baik, karena Buku Buat Semua bahkan mendapatkan penulis dari Kepulauan Yapen, Papua. [rk]