leader

Kisah Marshel Widianto, dari Penonton Bayaran Jadi Artis Terkenal

Penulis Rahma K
Sep 09, 2021
Kisah Marshel Widianto, dari Penonton Bayaran Jadi Artis Terkenal
ThePhrase.id – Jalan kesuksesan tiap orang tentu berbeda-beda, ada yang datang dengan cepat, ada juga yang harus berusaha dengan keras karena memulai dari nol. Marshel Widianto merupakan salah satu orang yang harus berjuang dari bawah untuk mencapai kesuksesan.

Marshel adalah seorang pelawak, aktor, dan pembawa acara yang namanya belakangan ini kian melejit. Bukan karena hal negatif, tetapi berkat kerja kerasnya untuk mendapatkan tempat di dunia entertainment.

Marshel Widianto. (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Ia makin terkenal karena kisah hidupnya yang dapat dikatakan unik dan jauh dari kata ‘enak’. Sejak kecil, Marshel dibesarkan di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara yang kerap dikaitkan dengan wilayah yang miskin dan banyak kriminal. Tak sepenuhnya salah, orang-orang di sekitarnya banyak yang berkehidupan kekurangan sepertinya sehingga akhirnya mengarah ke pekerjaan tidak baik.

Bahkan pernah ketika Marshel masih berumur 5 tahun ia diminta untuk mengirimkan suatu barang yang katanya adalah ‘bedak’. Ia yang masih kecil tidak mengerti bahwa barang yang diantarkannya adalah narkoba. Imbalan yang ia dapat pun bukanlah uang melainkan Tamiya.

Hidupnya bersama orang tua dan 3 adik tidak lah mudah. Ia tinggal di rumah petak sempit dan harus tidur bersebelahan dengan motor dan berjejer dengan anggota keluarganya. Untuk makan saja pria lulusan SMK jurusan akuntansi ini pernah harus membagi satu mie instan bersama ketiga adiknya.

Berbagai pekerjaan ia jalani untuk menambah penghasilan keluarganya yang tidak seberapa. Mulai dari debt collector hingga penonton bayaran telah ia jalani. Saat menjadi penonton bayaran pun upahnya tak banyak. Ia hanya dibayar Rp 19.000 dan harus datang dari Priok. Hal tersebut memaksanya untuk mengamen agar tidak perlu membayar ongkos.

Marshel Widianto saat masih sekolah. (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Saat menjadi penonton bayaran di berbagai stasiun televisi, Marshel kemudian mengenali Stand Up melalui Stand Up Comedy Academy (SUCA) yang disiarkan oleh Indosiar. Dari situ ia berpikir untuk belajar menjadi komika dan belajar Stand Up. Marshel berinisiatif mengikuti komunitas sebagai wadah belajarnya, yakni Stand Up Indo Jakarta Utara.

Melalui komunitas tersebut wawasannya semakin luas dan ia terbantu oleh anggota komunitas tersebut sebagai gurunya. Merasa mantap, Marshel memberanikan diri untuk mencoba keberuntungannya pada SUCA season 3. Meski tidak menang sebagai juara, ia berhasil menjadi 20 besar finalis.

Pada Helmy Yahya melalui podcast youtube Helmy Yahya Bicara, Marshel menceritakan ada kejadian lucu yang ia alami saat menghadiri grand final SUCA 3. Saat masuk ke venue, ia langsung diminta naik ke lantai 3, dan saat ia ke sana ternyata isinya orang-orang yang sedang membenarkan AC, jadi ia dianggap tukang AC oleh satpam yang mengarahkannya.

Marshel Widianto. (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Hal tersebut hanyalah salah satu dari banyak pengalamannya direndahkan. Ia juga mengaku kuat saat dijauhi teman. Namun, ia tidak kuat saat tetangga dan bahkan saudaranya meremehkan keluarganya.

“Yang saya gak kuat adalah ketika ada banyak tetangga, bahkan sodara yang meremehkan keluarga. Itu pantangan banget buat saya, saya gak terima. Diremehin karena miskin, karena dengan perawakan yang seperti ini, yang sering berkeringat, dianggap orang jijik mungkin. Bukan cuma ke saya, tapi ke adek-adek saya. Dan saya lihat sendiri ketika adek saya dijauhin sama orang lain, itu saya bilang, ‘gak bisa, harus berubah’,” ungkapnya.

Meski menjadi 20 besar finalis, ia tidak sukses begitu saja. Pria kelahiran tahun 1996 ini tetap harus bekerja keras. Ia pernah menjadi asisten dari pelawak Adjis Doaibu, hingga akhirnya bertemu dengan Denny Cagur yang banyak membantunya dengan membukakan berbagai pintu kepada Marshel. Kini Marshel juga tergabung dengan manajemen Denny Cagur.

Marshel Widianto (kiri) dan Denny Cagur (kanan). (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Saat ditanya oleh Helmy Yahya apakah sekarang Marshel sudah merasa sukses, ia jawab belum. Walaupun jika dibandingkan dengan keadaannya dulu jelas berbeda, Marshel mengatakan masih ada impian-impiannya yang belum tercapai. Impiannya adalah ingin mengumpulkan orang-orang yang sepertinya dulu.

“Pengen ngumpulin orang-orang yang seperti saya dulu, yang menderita, di satu wadah, yang dia tidak tahu pengen kemana. Saya tampung dan saya bantu untuk ‘lu kalo pengen belajar teater gua ada temen buat belajar’, ‘kalo lu pengen belajar stand up, gua bisa bantuin’. Jadi saya kasih kailnya, bukan ikannya,” ujarnya.

Hal ini berangkat dari pengalamannya yakni sebagai orang yang kekurangan dulunya, ia lebih sering mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) daripada pengajaran yang membantunya berkembang. Ia tak lupa mengatakan bahwa pengajaran memang ada, tetapi sosialisasinya yang tidak se-eksis BLT.

Marshel Widianto. (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Marshel juga ingin membangun Priok agar tidak lagi dipandang sebelah mata. Ia juga tidak ingin pindah dari Priok, tempat yang membesarkannya. Menurutnya, ‘Karena orang terlahir dari dunia kriminal, bukan berarti masa depannya kriminal juga’.

Jika banyak orang yang meremehkan Priok, Marshel ingin membuktikan bahwa banyak orang sukses yang datang dari tempatnya. “Dulu mungkin orang orang pikir Priok keras dan sebagainya. ‘Ah, Priok. Udeh lu cuma budak aja. Cuman butuh tenaga aja di Pelabuhan’ enggak. ‘Yang dipake cuma tenaga 70%, otaknya engga dipake’, enggak. Saya membuktikan, yang lain juga membuktikan,” ujarnya.

Ia mengakui bahwa lingkungan tempatnya tumbuh bukanlah yang terbaik. Jika ada orang yang mengejar akademis akan dihujat ‘sok pinter’ dan ‘mau pinter sendiri’. Menurutnya, hal seperti itulah yang membuat mereka sulit untuk keluar dari kemiskinan.

Marshel Widianto (kanan) dengan Giselle Anastasia (kiri). (Foto: Instagram/marshel_widianto)


Tetapi tidak dengan Marshel. Ada perkataan bahwa orang tumbuh tergantung dengan lingkungan. Dengan lingkungan yang tidak baik, Marshel membuktinya sebaliknya. Baginya, hal tersebut kembali pada diri masing-masing.

“Saya pernah denger ada yang bilang, guru saya. Dia bilang, ikan yang hidup adalah ikan yang melawan arus. Kalo lu mati, ya lu ikutin arus. Jadi saya mencoba untuk melawan arus yang ada,” tandasnya.

Berkat kegigihannya dalam berusaha dan bekerja, Marshel berhasil di-casting menjadi aktor di film Laundry Show bersama Giselle Anastasia dan Boy William. Namanya juga kian naik berkat kemampuannya dalam melawak. Bahkan Marshel baru-baru ini menjadi model untuk produk kecantikan MS Glow yang iklannya dipajang di Times Square, New York City, Amerika Serikat.

Iklan MS Glow di Times Square, New York, AS dengan Marshel (kanan) sebagai modelnya. (Foto: Instagram/juragan_99)


Saat ditanya apa arti kesuksesan untuk Marshel, ia menjawab ketika bisa membuat keluarga dan orang di sekitar bahagia. “Sekaya apapun kita, kalau orang di sekitar kita ngga bahagia, apa gunanya? Tidak ada gunanya. Karena menurut saya, saya makhluk sosial dan saya lahir dari orang-orang di sekitar saya,” ujarnya. [rk]

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic