ThePhrase.id – Di tengah hiruk pikuk kehidupan di pelosok Kecamatan Cibaliung, Pandeglang, Banten, di antara aroma nasi goreng yang mengepul dari gerobak sederhana di pinggir jalan, tumbuh seorang anak dengan mimpi yang tampaknya terlalu besar untuk ukuran lingkungannya.
Muhamad Yani namanya. Ia merupakan anak dari orang tua yang bekerja sebagai penjual nasi goreng. Hidup Yani dan kedua orang tuanya jauh dari kata mudah. Mereka pernah merasakan diusir dari rumah kontrakan yang terbuat dari bambu berukuran satu petak karena tak mampu membayarnya.
Alhasil, Yani harus lontang lantung tidur di jalanan bersama keluarganya selama berhari-hari. Ngemper di ruko tutup dengan hanya berbekal pakaian yang dikenakannya. Ia mengaku bersyukur jika ada yang memberinya makanan atau sekadar mengajaknya membeli es krim.
Namun, keterbatasan tak pernah menjadi alasan untuk menyerah. Kedua orang tua Yani berpesan kepadanya agar sang anak harus sekolah dan bersekolah setinggi mungkin agar tidak melanjutkan hidup yang susah seperti mereka.
Dengan semangat juang tinggi, tekad baja, dan keyakinan yang tak tergoyahkan, ia menulis kisah hidup membidik langit: dari anak tukang nasi goreng hingga akhirnya diterima di salah satu universitas paling prestisius di dunia, yakni Harvard University.
Pada laman media sosial Instagramnya, Yani membagikan kisahnya yang berasal dari keluarga sederhana yang bahkan kekurangan secara ekonomi, namun mampu menembus beberapa universitas top dunia dengan kepandaian yang dimilikinya.
Sebelum dapat mencapai tahap ini, Yani terlebih dahulu merampungkan pendidikan SMP, SMA, hingga kuliah S1. Dilansir dari detikedu, ia mengaku bahwa seluruh sekolahnya tak ada yang ia bayar sendiri, melainkan dari beasiswa.
"Dapat beasiswa dari SMP sampai SMA, bahkan kuliah S1, KIP dan lain sebagainya, bahkan sampai sekarang LPDP itu karena ucapan dari sang ibu yang menurut aku sangat menyentuh hati sekali," beber Yani.
Yap, setelah menamatkan pendidikan S1 di Universitas Udayana Bali, Yani mencoba peruntungannya untuk melanjutkan studi master S2 di luar negeri dengan LPDP, beasiswa yang dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan.
Dengan semangat tinggi dan dorongan dari orang tua, serta memegang teguh ucapan sang ibu yang memintanya bersekolah tinggi, Yani mengejar S2 di berbagai universitas dunia. Tujuannya adalah untuk dapat bersekolah di luar negeri, sebuah keinginan yang telah diimpikannya sejak duduk di bangku SMA.
Yani pertama kali mencoba mendaftar di kampus asing ketika masih berkuliah di semester 7. Dengan rasa penasaran tinggi, ia ingin mencoba meski dengan bekal seadanya. Namun, ia harus menghadapi penolakan pertamanya, yaitu dari Columbia University.
Tak putus asa, ia mencoba mendaftar di kampus lain seperti Manchester University di Inggris, Imperial College London, University of Washington, hingga Harvard University. Sejalan, ia juga mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa LPDP.
Meski ia ditolak oleh beberapa universitas dunia tersebut dan tak lolos tahap substansi LPDP di percobaan pertamanya, Yani tak menyerah. Kesabaran dan kegigihan membuahkan hasil beasiswa LPDP batch 2 2024 dengan pilihan Harvard University jurusan Human Development and Education, HGSE.
Jurusan ini dipilih oleh Yani bukan tanpa alasan. Cerita hidupnya yang tak mudah mengantarkan dirinya memilih jurusan ini demi dapat melakukan pendekatan psikologi kepada pemuda-pemuda yang putus sekolah atau merasa kekurangan potensi.
Di luar kesibukannya belajar, Yani juga merupakan pendiri dari Leuweung Hub Foundation yang merupakan gerakan pendidikan non-formal yang membantu pelajar desa untuk meraih beasiswa. Pemuda yang telah terbantu dari gerakan ini tercatat telah mencapai 287 orang. [rk]