ThePhrase.id – Bulan Ramadan di Indonesia identik dengan banyak tradisi, termasuk tradisi kentongan sahur di berbagai daerah di Indonesia dengan istilah dan ciri khas masing-masing.
Meskipun tak lagi asing bagi masyarakat Indonesia, tetapi seperti apa sebenarnya asal-usul tradisi ini? Bagaimana bisa menjadi tradisi dan dilakukan secara turun menurun di berbagai daerah di Indonesia?
Dilansir dari laman Universitas Airlangga (Unair), dosen Ilmu Sejarah Unair, Dr Sarkawi B Husain mengatakan bahwa masih belum ditemukan catatan sejarah mengenai awal mula tradisi kentongan di Indonesia.
Kendati demikian, tradisi ini diduga telah lama ada di Indonesia dan ada sejak Islam masuk ke Indonesia. "Dugaan saya, tradisi tersebut sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia," ujarnya.
Pasalnya, budaya membangunkan orang untuk sahur ini juga dilakukan di negara Arab. Sehingga, besar kemungkinan ketika Islam masuk ke Indonesia, tradisi ini juga ikut masuk dan diperkenalkan kepada masyarakat lokal.
Antropolog sekaligus dosen kebudayaan Islam dan klasik Indonesia Unair, Djoko Adi Prasetyo mengatakan bahwa tradisi membangunkan sahur telah muncul sejak zaman Rasulullah. Bedanya, masyarakat zaman tersebut menggunakan adzan sebagai pengingat sahur karena keterbatasan teknologi.
Namun, semakin berkembangnya zaman, bangsa Arab mulai menggunakan alat-alat seperti gendang. Dan juga, mereka mulai berkeliling ke sudut-sudut kota untuk membangunkan sahur dengan alat bantu lentera.
Menurut Djoko, tradisi kentongan sahur atau patroli sahur saat Ramadan memiliki tiga nilai. Pertama adalah tanggung jawab sosial yang mana masyarakat secara kolektif memiliki tanggung jawab untuk saling mengingatkan waktu sahur.
Kedua adalah bentuk interaksi sosial, karena patroli sahur tak hanya dilakukan oleh 1-2 orang, tetapi beramai-ramai yang menciptakan interaksi sosial. Terakhir, budaya ini juga dilihat sebagai bentuk solidaritas umat muslim dalam mengingatkan sahur dan menjalankan puasa sesama umat beragama.
Tradisi ini memang dapat ditemukan di berbagai wilayan di Indonesia, tetapi setiap daerah memiliki istilah sendiri yang digunakan. Begitu juga alat-alat yang digunakan, terdapat perbedaan di berbagai daerah.
Sebagai contoh di Banjar, Kalimantan Selatan, tradisi ini disebut bagarakan sahur, di Sulawesi, tradisi beduk sahur disebut dengo-dengo, di Jawa Barat disebut ubrug-ubrug, di Situbondo disebut canmacanan, di Yogyakarta disebut klotekan, di Jakarta disebut ngarak beduk, dan masih banyak lagi.
Namun, terdapat penurunan pelaksanaan budaya kentongan sahur di Indonesia. Pasalnya, semakin berkembangnya zaman, terdapat semakin banyak juga alat untuk membangunkan sahur tanpa harus dibangunkan orang lain, seperti alarm.
Untuk itu, tradisi ini dinilai memiliki relevansi yang rendah. Tetapi, Sarkawi menjelaskan bahwa kentongan sahur masih relevan di beberapa tempat seperti desa dan kampung, karena faktor homogenitas penduduk dan teknologi.
"Bagi masyarakat homogen seperti di desa atau kampung, tentu ini masih sangat relevan. Apalagi di kampung, tentu ada keluarga yang tidak memiliki teknologi seperti HP yang dapat digunakan untuk alarm," ungkapnya.
Tradisi ini menjadi tak terlalu relevan jika diterapkan di perkotaan. Selain karena teknologi, perkotaan juga terdiri dari masyarakat yang beragam, di mana tak semuanya beragama Islam, sehingga dapat mengganggu istirahat orang lain. [rk]