ThePhrase.id - Minyak yang digunakan untuk menggoreng sehari-hari biasanya terbuat dari kelapa sawit. Bagaimana jika minyak goreng tersebut berasal dari serangga? Mush'ab Nursantio, anak bangsa membuat inovasi tersebut menjadi nyata.
Melalui Biteback, Mush'ab ingin mengurangi ketergantungan pada minyak yang berasal dari kelapa sawit dengan menciptakan alternatif yang lebih berkelanjutan, yakni dari serangga yang dapat dimakan.
Mush’ab merupakan co-founder dan juga CEO dari Biteback. Latar belakang pendidikannya dari jurusan teknologi agrikultur membawanya menyelami bidang ini dan ia sangat bersemangat hingga berkelana ke berbagai negara untuk semakin menguasainya.
Mush'ab Nursantio. (Foto: Instagram/basumn)
Tujuan lain dari menemukan alternatif ini adalah untuk memerangi deforestasi dan kerusakan hutan yang terjadi akibat kelapa sawit yang menjadi bahan dasar minyak goreng. Pasalnya, Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Maka dari itu, deforestasi menjadi masalah utama yang menjadi fokus Biteback.
"Kelapa sawit sepertinya saat ini tidak bisa dihindari, ada di mana-mana, dapat ditemukan di hampir semua supermarket, dan sepertinya tidak mungkin kita melihat permintaan akan berkurang, karena populasi juga terus bertambah. Itu sebabnya kami mengembangkan solusi ini," ungkap Mush'ab pada podcast Faces of Food.
Serangga mungkin tidak terlalu familier bagi sebagian orang, di Indonesia, apalagi di dunia. Beberapa negara memang memakannya secara langsung, seperti Thailand. Namun, manusia tidak menyadari bahwa serangga juga merupakan bagian dari sayuran atau buah-buahan yang mereka konsumsi.
Mush'ab Nursantio. (Foto: Instagram/basumn)
"Alasan utam mengapa kami menggunakan serangga adalah karena mereka memiliki efisiensi yang lebih baik. Misalnya dibandingkan dengan kelapa sawit, dapat menghasilkan 150 ton minyak per hektar per tahun, dibandingkan dengan kelapa sawit yang hanya 4 ton. Jadi hasilnya 37 kali lebih banyak," tutur Mush'ab.
Terlebih lagi, serangga yang digunakan, yakni darling beetle larvae atau larva kumbang darkling, atau serangga pada umumnya berkembang biak dengan sangat cepat. Sehingga, pada jumlah lahan yang sama dengan beberapa pohon sawit, perkembangbiakannya akan lebih unggul serangga tersebut. Bahkan, serangga dapat dikembangbiakkan secara vertikal. Makanan yang diberikan juga dari biomassa aliran limbah agroindustri.
Biteback menggunakan teknologi pemrosesan yang mengekstraksi lebih dari 90 persen lemak massa dari tubuh serangga dan menjadikannya sebagai bahan yang memiliki fungsi yang berbeda-beda seperti minyak goreng, mentega, alkohol lemak, dan biofuel.
Produk Biteback. (Foto: Instagram/bitebackbio)
Sifat asam lemak yang ada pada tubuh serangga juga malah menghasilkan kombinasi yang menguntungkan, yaitu kaya akan lemak tak jenuh dan lemak sehat termasuk omega-3, 6, dan 9.
Mush'ab memulai inovasi ini sebagai proyek penelitian saat ia masih mahasiswa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Kemudian, penelitiannya dilombakan pada sebuah kompetisi yakni TFF (Thought For Food) global challenge (2016). Biteback menjadi runner up dan Mush'ab kemudian terlibat dengan komunitas TFF sebagai duta besar global kemudian sebagai Next Gen Council.
Selain inovasi dalam bidang minyak, Mush'ab juga terlibat dalam inovasi urban farming yang menanam sayuran hidroponik di dalam ruangan secara vertikal. Ia merupakan co-founder dan dewan direksi dari Sentrafarm.
Ini menjadi sebuah inovasi yang bagus karena tidak memakan tempat banyak tetapi dapat menghasilkan sayuran yang berkualitas. Poin plusnya adalah tidak adanya hama karena ditanam di dalam ruangan.
Selain itu, suhu ruangan dapat diatur, sehingga kualitasnya tidak akan tergantung cuaca layaknya tanaman hidroponik yang ditanam di luar. Selain itu, tidak perlu menggunakan banyak lahan karena ditanam secara vertikal. Pencahayaannya juga menggunakan lampu LED.
Kini, produk dari Sentrafarm tersebut telah dapat dibeli di FoodHall Plaza Indonesia dan Senayan City. [rk]