leader

Nadhira Nuraini Afifa, Dokter Muda Lulusan Harvard yang Menginspirasi

Penulis Rahma K
Aug 31, 2021
Nadhira Nuraini Afifa, Dokter Muda Lulusan Harvard yang Menginspirasi
ThePhrase.id – Nadhira Nuraini Afifa merupakan dokter muda lulusan Harvard T.H. Chan School of Public Health pada departemen kesehatan global dan populasi yang berfokus pada nutrisi. Saat lulus dari Harvard ia mendapatkan kesempatan menjadi Commencement Student Speaker, yakni perwakilan mahasiswa yang memberikan pidato pada acara kelulusan.

Di Harvard, khususnya pada Harvard TH Chan, menjadi seorang commencement student speaker pada acara kelulusan merupakan hal yang terbuka bagi semua mahasiswa yang hendak lulus. Mahasiswa yang mendaftar akan diseleksi dengan ketat dan hanya terpilih satu perwakilan. Nadhira berhasil lolos serangkaian seleksi dan menjadi perwakilan angkatan 2020.

Pada kanal youtube pribadinya, ia mengatakan bahwa menulis pidato ternyata tidak mudah. Tidak memiliki acuan bagaimana pidato pada acara kelulusan, Nadhira mencoba membuat pidato atas inisiatifnya sendiri dan terpilih. Baginya, hal tersebut merupakan kesempatan yang sangat berharga dan membanggakan, sebab di sana ia termasuk kaum minoritas sebagai seorang muslimah dan berhijab.

Nadhira Nuraini Afifa saat lulus dari Harvard. (Foto: Instagram/nadhiraafifa)


Tidak heran jika pidatonya terpilih untuk dibacakan pada acara kelulusan. Pasalnya, isi dari pidato tersebut menginspirasi dan mengharukan. Ia menceritakan pengalamannya saat pertama kali masuk di Harvard. Berbeda dengan yang lain, ia memiliki kecemasan atas rasisme, terlebih lagi karena ia mengenakan hijab.

Di awal-awal masa orientasinya, Nadhira merasa takut pada segala hal, terlebih berbicara pada orang, yang didasari atas kecemasan rasisme. Namun, ketakutannya perlahan memudar pada minggu keduanya bersekolah di sana. Saat perempuan kelahiran 1995 ini sedang hendak salat di bawah tangga darurat, seseorang mengarahkannya ke ruang ibadah Harvard yang ternyata dilengkapi oleh segala kebutuhan untuk salat.

Lebih terkejutnya lagi saat Nadhira mengetahui bahwa orang yang mengarahkannya ke ruang ibadah tersebut adalah seorang Yahudi. Dari situlah ia kemudian menemukan kembali kepercayaan dirinya dan membuka dirinya pada dunia, mengetahui bahwa teman-teman dan lingkungan di sana saling menghormati satu sama lain.

Nadhira juga menjelaskan bahwa ia selalu mengingat kata-kata ibunya yakni ‘bermimpilah setinggi-tingginya, karena satu-satunya hal yang membatasi kita adalah pikiran kita sendiri’. Ia merasa bangga dapat menyelesaikan sekolah S2 di universitas terbaik di dunia untuk kesehatan masyarakat.

Nadhira Nuraini Afifa. (Foto: Instagram/nadhiraafifa)


Pasalnya, ia dibesarkan oleh seorang ibu yang merupakan anak terakhir dari 11 bersaudara yang berasal dari keluarga petani di sebuah desa di Pulau Sumatera. Meski dari keluarga petani, saudara-saudara dari sang ibu bekerja keras untuk membuat sang ibu dapat berkuliah, hingga dapat membesarkan Nadhira dan saudara-saudaranya dengan keadaan yang memadai.

Berkiprah di bidang kesehatan, sarjana Universitas Indonesia (UI) jurusan kedokteran ini ternyata bukan bercita-cita sebagai dokter saat ia kecil. Pada podcast Gita Wirjawan, Nadhira mengatakan bahwa dulu cita-citanya adalah menjadi seorang arsitek. Hal ini dikarenakan sang ayah adalah seorang arsitek.

“Papaku arsitek. Aku dari kecil sering lihat di kamar papa ada meja gambar yang gede. Karena dulu arsitek belum ada software, masih pake meja gambar. Terus aku suka ikutan gambar di sana. Aku suka matematika, jadi aku rasa kayaknya arsitek cocok banget,” ujarnya.

Meski begitu, ia didorong oleh keluarganya untuk menjadi dokter. Stigma menjadi seorang dokter merupakan hal yang memiliki prestise tinggi bagi sebagian orang, terutama di Indonesia. Atas dorongan keluarga dan dukungan guru-guru di SMA, pada kelas 3 ia pun akhirnya memantapkan pilihan untuk masuk Fakultas Kedokteran (FK).

Nadhira Nuraini Afifa. (Foto: Instagram/nadhiraafifa)


Walaupun bukan keinginan awalnya, tetapi Nadhira kemudian menemukan passion-nya pada bidang tersebut. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyesal menggeluti dunia kesehatan. Mengenai passion-nya pada menggambar dan arsitektur, Nadhira kini kerap mengasah kemampuan desainnya menggunakan aplikasi seperti Photoshop dan Adobe Illustrator.

Pada satu kesempatan saat berkuliah di UI, yakni berbicara dengan ibu Sri Mulyani ia mendapatkan pengalaman tak terlupakan. Ia mengenang bahwa ibu Sri Mulyani mengatakan ‘Jangan sampai jadi arogan, karena semakin arogan justru semakin tumpul’.

Pada saat itu, ia merasakan hal tersebut karena ia merasa jalannya selama ini sangat mulus. Tanpa ia sadari, ia menjadi arogan. Tidak terlalu belajar dan tidak terlalu memerhatikan dosen, ia sempat gagal pada beberapa kelas, sehingga kelulusannya harus mundur, termasuk juga koas dan wisudanya, pelantikan menjadi dokternya pun juga telat. Dari hal itu, ia merasa minder dan menilai dirinya lebih rendah dari sebelumnya.

Namun, saat berada di bawah, hanya ada dua sisi yang dapat dilihat. Menjadikan hal tersebut titik balik atau titik berhenti. Ingin bangkit, Nadhira kemudian menjadi lebih semangat memperbaiki dirinya. Ia mengikuti konferensi-konferensi dan lomba di luar negeri, sehingga menambah catatan baik di CV-nya yang menjadi salah satu faktor diterima di Harvard.

Nadhira saat menghadiri UN General Assembly and Youth Climate Summit (2019). (Foto: Instagram/nadhiraafifa)


Dokter yang bekerja di RSIA Kemang Medical Care ini pernah mengikuti konferensi di Perancis dan Jepang. Ia juga menjalani koas di Jepang pada Saint Luke Medical Center dan di Belanda pada Erasmus MC. Saat berkuliah di Amerika Serikat ia juga pernah menghadiri United Nations (UN) atau PBB General Assembly and Youth Climate Summit pada tahun 2019.

Prestasi dan pencapaiannya tidak berhenti di situ, di Harvard ia pernah mengambil kelas Innovations in Global Health yang mengharuskannya mengikuti Hackathon. Bertiga dengan seorang mahasiswa medical health Harvard dan seorang pekerja di bidang IT, ia mengikuti Hackathon untuk pertama kalinya dan berhasil menang menjadi juara 1. Hackathon ini dibuka secara global bekerja sama dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Mengusung tema malnutrisi anak, lebih spesifik di Indonesia, ia dan dua orang temannya berhasil mendapatkan juara 1 dengan hadiah USD 4.000. Dari situ, Nadhira ketagihan mengikuti hackathon, mengikuti startup funding, dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Berkat pengalamannya tersebut, saat pulang ke Indonesia Nadhira pernah menduduki posisi Chief Marketing Officer (CMO) di perusahaan bimbel online terkenal yakni AyoBlajar.

Nadhira saat menjalani proyek kesehatan masyarakat di Tanzania, Afrika. (Foto: Instagram/nadhiraafifa)


Nadhira juga memiliki pengalaman menarik pergi ke Tanzania di Afrika untuk proyek kesehatan masyarakat. Proyek ini merupakan kerja sama antara Harvard dan kementerian-kementerian di Tanzania untuk memberikan intervensi nutrisi anak-anak remaja di Tanzania.

Sembari menjadi general practitioner pada RSIA Kemang Medical Care, Nadhira juga pernah menjadi staf eksekutif menteri pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Januari hingga April 2021.  [rk]

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic