ThePhrase.id – Rencana Pemerintah melakukan transisi energi atau shifting energy dari BBM dengan oktan atau RON (Research Octane Number) dibawah 91 ke BBM dengan oktan di atas 91 yang lebih ramah lingkungan mendapat tanggapan beragam dari para pakar, pengamat dan akademisi.
Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihatono berpendapat bahwa Indonesia saat ini memerlukan energi yang lebih ramah lingkungan, karena ancaman terhadap perubahan iklim sudah nyata di depan mata.
Ilustrasi kilang. (Foto: pexels/Loic Manegarium)
Tetapi, melakukan shifting atau perpindahan bukanlah perkara mudah. Mengingat harga bahan bakar dengan oktan tinggi yang juga lebih tinggi. Sedangkan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengalami kemiskinan.
"Menurut perkiraan saya, Indonesia membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar shifting pertalite," ujar Gigih terkait perkiraan waktu masyarakat dapat beralih kepada BBM beroktan tinggi.
Selain kondisi masyarakatnya, terdapat pula faktor lain yang harus diperhatikan ketika akan melakukan perpindahan energi. Salah satunya dan yang penting adalah pandemi. Indonesia saat ini sedang mengalami proses pemulihan atau recovery dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun.
Pada sisi lain, BBM merupakan hajat hidup orang banyak dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, jika pemerintah menerapkan perpindahan energi tanpa memperhatikan proses recovery pandemi yang sedang dialami masyarakat, maka takutnya membebani masyarakat yang miskin.
"Menurut saya, jika shifting premium ke pertalite ini dibuat secara bertahap, tidak akan menjadi terlalu banyak masalah bagi perkonomian masyarakat Indonesia," Gigih berpendapat.
Untuk itu, Gigih mengungkapkan bahwa mitigasi risiko paling umum terkait rencana kebijakan tersebut adalah terkait beban masyarakat kecil menjadi semakin tinggi. Gigih menambahkan pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap hal tersebut dengan program-program sosial.
Program sosial yang dimaksud adalah seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk mengurangi dampak negatif yang akan muncul jika terjadi perpindahan energi kepada yang ramah lingkungan.
Selain itu, terdapat juga perihal lain yang harus diperhatikan pemerintah seperti dapat timbulnya inflasi. "Kemudian jika shifting diterapkan di masyarakat kota, dikhawatirkan dalam jangka pendek akan memicu timbulnya inflasi," ujar Gigih.
Menurutnya, biaya BBM adalah salah satu komponen besar dalam komponen bisnis suatu perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan pada sektor transportasi dan logistik. Lonjakan inflasi tersebut harus dipikirkan dan dimitigasi sedini mungkin oleh pemerintah. Dengan tujuan agar tren inflasi yang cukup stabil di level tiga persen dapat tetap berlanjut.
Sedangkan dalam jangka panjang, kemungkinan besar yang akan terdampak adalah masyarakat. Transportasi publik di kota besar harus dipercepat dari segi kuantitas dan kualitas. Dengan begitu, masyarakat dapat memiliki pilihan untuk menggunakan kendaraan pribadi dengan biaya yang lebih mahal atau kendaraan umum.
Bukan hanya transportasi umum, Gigih berharap alat lain yang beremisi besar juga diberlakukan perpindahan energi. Terlebih lagi, Gigih mengatakan bahwa apabila tujuan shifting adalah untuk dekarbonisasi, maka kendaraan yang berusia tua atau memiliki emisi di atas ambang batas memerlukan aturan lebih lanjut untuk tidak berada di jalanan.
"Sumber emisi mereka jauh mengotori daripada teknologi mesin yang saat ini. Karena mesin sudah tua, dari segi kecepatan akan mengganggu lalu lintas di jalan," paparnya.
Meski perpindahan energi tersebut merupakan sebuah upaya untuk memerangi perubahan iklim, dan merupakan sebuah upaya dan langkah menuju energi yang berkelanjutan, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dan dimitigasi, sebelum kemudian peraturan diberlakukan. Karena seperti yang Gigih ungkapkan, BBM merupakan komponen kehidupan sehari-hari yang menjadi hajat orang banyak. [rk]