ThePhrase.id – Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 yang menjabat dari tahun 1968 hingga 1971. Ia dikenal secara luas sebagai polisi yang jujur, sederhana, antikorupsi dan antisogokan.
Selama masa Hoegeng menjabat sebagai polisi hingga Kapolri, ia berada di pemerintahan yang sarat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sampai-sampai, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Indonesia ke-4 pernah berkata bahwa Hoegeng adalah satu dari tiga polisi yang jujur dalam guyonannya.
"Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng," begitu guyonan Gus Dur dilontarkan.
Lantas, seperti apa kiprah Jenderal Hoegeng semasa hidupnya sebagai polisi dan Kapolri hingga disebut sebagai polisi yang paling jujur tersebut?
Jenderal Hoegeng Imam Santoso. (Foto: Wikipedia)
Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921 dari pasangan Soekarjo Kario Hatmodjo, seorang jaksa, dan Oemi Kalsoem. Ia memiliki dua adik perempuan yang bernama Titi Soedjati dan Soedjatmi.
Saat masih kecil, ia memiliki tubuh yang gemuk, sehingga diberi nama panggilan 'bugel' yang kemudian berubah menjadi 'bugeng' dan 'hugeng'. Ia yang dilahirkan hanya dengan nama Imam Santoso ini kemudian menjadi Hoegeng Imam Santoso.
Sejak kecil, ia sudah memiliki keinginan untuk menjadi polisi. Cita-citanya tersebut dipengaruhi oleh teman sang ayah yang menjabat sebagai kepala kepolisian di kampung halamannya.
Untuk mencapai cita-citanya tersebut, Hoegeng menjalani studi pertama di Hollandsch-Inlandsche School untuk tingkat sekolah dasar, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs untuk tingkat SMP, Algemene Middelbare School untuk tingkat SMA, dan melanjutkan studinya di Batavia (sekarang Jakarta) di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) atau perguruan tinggi hukum.
Sayangnya, saat masih menempuh pendidikan hukum tersebut, Jepang menduduki Hindia Belanda (sekarang Indonesia) menggantikan Belanda, dan menutup RHS. Dengan berat hati, Hoegeng kembali ke Pekalongan dan mengisi waktunya berjualan telur dan buku sekolah bahasa Jepang.
Saat itu ia ditawari temannya untuk mendaftar pembukaan kursus polisi di Pekalongan. Ia lolos dan menjalani kursus tersebut, namun kecewa dengan outputnya yang bukan menjadi perwira tinggi (inspektur kedua), tetapi dua pangkat lebih rendah.
Jenderal Hoegeng Imam Santoso. (Foto: kompolnas.go.id)
Ia kemudian mencoba keberuntungannya lagi, yakni pada Koto Kaisatsu Gakko atau Sekolah Pendidikan Kepolisian Tingkat Tinggi di Sukabumi, Jawa Barat dan lulus. Ia berpikir dirinya akan naik pangkat lebih tinggi menjadi Junsabucho, tetapi malah diturunkan pangkat menjadi Minarai Junsabucho.
Tugas pertamanya adalah dikirim ke Semarang. Dari situ, ia mendapat banyak promosi dan kenaikan pangkat. Hingga akhirnya ia harus dirawat akibat menderita gegar otak dan memutuskan untuk beristirahat kembali ke Pekalongan.
Di kampung halamannya, ia dikunjungi oleh seorang Komodor yang mengajaknya menjadi bagian dari angkatan laut. Hoegeng Imam Santoso menerima tawaran tersebut dan berkiprah di angkatan laut untuk beberapa tahun. Namun, saat bertugas di Yogyakarta, ia dibujuk oleh Soekanto Tjokrodiatmodjo, kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi.
Karena cita-cita awalnya adalah menjadi polisi, ia kemudian mengundurkan diri dari perwira angkatan laut untuk menjadi polisi. Ia kemudian masuk pada akademi kepolisian di Magelang dan setelah lulus bertugas di Yogyakarta pada masa kependudukan Jepang.
Setelah itu, Hoegeng ditempatkan di berbagai daerah dan menjabat berbagai jabatan. Ia pernah dikirim ke Surabaya, Jawa Timur sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) (1952) dan menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatera Utara (1956).
Ia kemudian mengikuti pendidikan Brimob dan menjadi Staf Direktorat II Markas Besar Polri (1960), setelah itu ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966), Deputi Operasi Pangak (1966), hingga diangkat menjadi Kapolri di tahun 1968.
Jenderal Hoegeng Imam Santoso. (Foto: inews.id)
Selama menjabat berbagai jabatan di berbagai daerah tersebut, Hoegeng tentu mendapat fasilitas yang diberikan negara, seperti rumah dinas, mobil dinas, dan lain-lain. Bahkan, ketika ia berdinas ke Medan, rumah dinas yang akan ditempatinya belum siap, tetapi ia diarahkan ke rumah berisi barang mewah dan mobil.
Hoegeng dan keluarganya kaget bukan main, ternyata barang-barang, rumah, dan mobil tersebut adalah sogokan dari para bandar judi, mafia, dan pengusaha ilegal yang mendekati pejabat agar usahanya dilancarkan.
Sebagai polisi yang tak mempan disogok, Hoegeng memilih untuk tinggal di hotel selama rumah dinasnya belum siap. Di rumah dinasnya, ia juga masih menemukan barang-barang sogokan, ia meminta agar barang-barang tersebut diletakkan begitu saja di depan rumahnya.
Dilansir dari laman Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Hoegeng memiliki kata-kata mutiara yang terkenal, yakni "Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik". Ini berarti ia berpesan agar polisi jangan sampai bisa 'dibeli'.
Dari sini, namanya makin dikenal dan disegani oleh para pejabat di Indonesia. Setelah dari Medan, ia kembali ke Jakarta dan diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Direktur Jenderal Imigrasi. Pada jabatan ini juga ia menolak berbagai sogokan yang datang pada dirinya.
Hingga akhirnya saat ia menjabat sebagai Kapolri, ia mengatakan pada keluarganya untuk tidak memanfaatkan jabatannya dan mencampurkannya dengan urusan rumah tangga. Bahkan, ia tetap mengingatkan keluarganya untuk hidup sederhana.
Jenderal Hoegeng Imam Santoso. (Foto: dok. Keluarga dari tempo.co)
"Papi tetap mengingatkan hidup sederhana dan tidak neko-neko. Keluarga diminta tidak mengganggu urusan dirinya sebagai Menpangak (Kapolri) dengan urusan rumah tangga," tutur anak keduanya, Aditya Soetanto Hoegeng, dilansir dari Bisnis.
Bahkan, ia menolak rumah dinas di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri yang berlokasi di Jalan Madura, Jakarta Pusat. Ia juga menolak kawalan serta pos jaga di depan rumahnya.
Selama menjabat sebagai Kapolri, dirinya dihadapkan dengan permasalahan yang cukup pelik karena merupakan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Citra kepolisan yang sudah terlanjur buruk menjadi PR-nya untuk membenahi.
Ia tak takut kepada jajaran beruang yang melakukan hal-hal ilegal. Salah satu contohnya adalah memberantas kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Kala itu, penyelundupan sedang marak terjadi di Indonesia.
Alih-alih membawa namanya semakin tinggi, kejujurannya, dan secara khusus kasus penyelundupan mobil mewah tersebut justru membuat jabatannya sebagai Kapolri diberhentikan lebih cepat. Ia hanya menjabat selama kurang lebih empat tahun, dan diberhentikan oleh Presiden Soeharto.
Hoegeng ditawari jabatan sebagai Duta besar di negara lain, namun ia menolak tawaran tersebut karena dianggap ingin 'dibuang' dari negara. Ia lebih memilih untuk pensiun dini dan menekuni hobinya bermusik dan melukis. [rk]