ThePhrase.id – Nama Meutya Hafid diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto (20/10) sebagai Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Penunjukkan Meutya ini sekaligus menciptakan sejarah baru dirinya sebagai wanita pertama yang menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Sebelum menjabat sebagai menteri, Meutya telah terlebih dahulu menekuni sejumlah profesi lain yang membuat sosoknya dikenal luas dan juga disegani. Ia dikenal sebagai seorang jurnalis televisi yang bekerja untuk Metro TV dan juga politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR RI.
Jejak awal Meutya dimulai dari sebuah lokasi yang bernama Soppeng. Kabupaten Soppeng adalah daerah yang berada di tengah Provinsi Sulawesi Selatan yang masyarakatnya mayoritas beretnis Bugis. Tetapi, karena geografi yang berada di kawasan perbukitan, warganya cenderung mengedepankan kesejukan. Ini lah yang menjadi latar belakang Meutya dalam bersikap dan berkehidupan.
Meutya mengawali karir sebagai jurnalis televisi, dengan sejumlah prestasi dan dedikasi, terutama pada liputan daerah konflik. Ia meliput Darurat Militer Aceh (2003), Tsunami Aceh dan perjanjian damai Aceh (2005), Pemilu Irak (2005), Kudeta Militer Thailand dan konflik Thailand Selatan (2006), serta liputan Palestina (2007).
Sosok Meutya sebagai seorang jurnalis makin dikenal secara luas ketika ia melangsungkan liputan Pemilu di Irak pada tahun 2005. Ia bersama seorang juru kamera Metro TV bernama Budiyanto yang kala itu sedang bertugas tiba-tiba disandera oleh Pasukan Mujahidin Irak selama tujuh hari lamanya.
Meutya dan Budiyanto memiliki kontak terakhir dengan Metro TV pada 15 Februari 2005. Keduanya kemudian dibebaskan pada tanggal 21 Februari 2005. Peristiwa ini diabadikan oleh Meutya melalui buku yang ia tulis dan dipublikasikan dengan judul “168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak.”
Atas keberaniannya sebagai seorang jurnalis, Meutya diganjar Elizabeth o' Neill Journalism Award (2007) dan sejumlah penghargaan lain di dunia jurnalistik. Ia juga dianugerahi Kartu Pers Nomor Satu atau Press Card Number One (PCNO), penghargaan kepada wartawan profesional dengan kompetensi dan integritas.
Dengan pengalamannya di dunia jurnalistik, pada tahun 2008 Meutya beralih ke dunia politik dengan bergabung bersama Partai Golkar. Berselang dua tahun, ia memulai pencalonan pertamanya yang ia lakukan bersama H. Dahni Setiawan Isma S.Sos sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Binjai periode 2010-2015.
Sayangnya, kala itu Meutya belum berhasil terpilih, meskipun terdapat beberapa kejanggalan pada proses penghitungan seperti dugaan kesalahan rekapitulasi penghitungan suara. Pengaduan yang diajukan Meutya ke Mahkamah Konstitusi juga ditolak dengan alasan tidak cukup bukti.
Tetapi pada bulan Agustus 2010, Meutya justru masuk ke Senayan dan dilantik menjadi Anggota DPR antar waktu dari Partai Golkar untuk menggantikan Burhanudin Napitupulu yang meninggal dunia.
Ibu dari satu anak ini mengawali kiprah sebagai anggota DPR di Komisi XI bidang keuangan dan perbankan. Ia ikut dalam sejumlah gebrakan, antara lain soal Merpati Air dan kasus Citibank.
Saat dipindah ke Komisi I DPR, bidang luar negeri, pertahanan, komunikasi dan informatika, serta intelijen, pada tahun 2012, Meutya mengunjungi Gaza untuk memberikan bantuan secara langsung kepada rakyat Gaza, dan bertemu pimpinan Hamas dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Pada 2014, Meutya menjadi Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR. kemudian menjadi Wakil Ketua Komisi 1 DPR. Pada periode ini, ia menginisiasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta program sertifikasi wartawan.
Karier Meutya di Senayan berjalan selama tiga periode, mulai dari periode 2009-2014, periode 2014-2019, dan periode 2019-2024 dari daerah pemilihan Sumatera Utara I. Di periode terakhirnya menjabat sebagai anggota DPR RI, ia bahkan didapuk sebagai Ketua Komisi I DPR RI.
Ini membuat dirinya menjadi perempuan pertama yang pernah menjadi Ketua Komisi 1 DPR RI. Dalam menjabat posisi ini, Meutya menyelesaikan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, dan juga berperan pada perubahan UU ITE untuk perlindungan anak di ranah digital. Selama memimpin sebagai Ketua Komisi I DPR RI pada 2019-2024, ia telah menghasilkan 13 Undang-Undang.
Setelah menyudahi periode ketiganya sebagai anggota DPR RI, Meutya lagi-lagi mendapatkan kepercayaan oleh masyarakat Dapil Sumatera I dan kembali terpilih sebagai anggota DPR dengan jumlah perolehan suara terbanyak sepanjang mencalonkan diri, yakni 147.004.
Ia juga menjalani pelantikan anggota dewan pada Selasa (1/10) lalu, tetapi kemudian ditunjuk oleh Presiden Prabowo untuk menjadi Menteri Komunikasi dan Digital.
Sementara itu untuk pendidikannya, perempuan kelahiran 3 Mei 1978 ini menimba ilmu di berbagai negara. Ia merupakan lulusan SDN 02 Menteng, SMPN 1 Cikini, Crescent Girls School (SMA) di Singapura.
Meutya kemudian melanjutkan pendidikan S-1 di Australia, lebih tepatnya pada The University of New South Wales Sydney pada jurusan Manufacturing Engineering. Berselang 15 tahun, ia kemudian melanjutkan pendidikan S-2 di Universitas Indonesia pada jurusan Ilmu Politik.
Sekarang, sebagai menteri Komdigi, perempuan dengan nama lengkap Meutya Viada Hafid ini menekankan komitmen Kementerian Komdigi dalam mempercepat pemerataan infrastruktur digital agar masyarakat di wilayah terpencil dapat merasakan manfaat teknologi internet yang lebih inklusif.
Meutya juga menyampaikan Kemkomdigi juga akan memperkuat upaya memberantas judi online yang meresahkan dan merusak moral, memfokuskan pada pengamanan data pribadi masyarakat, hingga menekankan pentingnya pengawasan ketat untuk mencegah kebocoran data. [rk]