ThePhrase.id – Setelah quiet quitting dan quiet cracking, muncul istilah quiet covering yang menjadi fenomena baru di dunia kerja. Istilah ini umumnya digunakan oleh para generasi muda atau generasi Z yang mulai memasuki dunia kerja.
Quiet covering memiliki arti kebiasaan menyembunyikan sebagian identitas diri. Identitas yang dimaksud cukup beragam, dimulai dari kondisi kesehatan mental, latar belakang etnis, orientasi seksual, agama, hingga kelemahan kompetensi.
Tujuan seseorang melakukan quiet covering adalah untuk mempertahankan imej profesional, agar diterima secara sosial, menghindari penilaian negatif, diperlakukan stereotip dan/atau diskriminatif, hingga meningkatkan peluang dalam pekerjaan seperti promosi atau mendapatkan bonus.
Dilansir dari Forbes, sebuah studi hasil kerja sama antara Hu-X dan Hi-Bob menemukan bahwa 97 persen pekerja pernah melakukan quiet covering setidaknya beberapa kali, dan 67 persen sering melakukannya.
Generasi Z, menurut penelitian tersebut, cenderung dua kali lebih sering menyembunyikan aspek identitasnya dibanding generasi tua. Contohnya adalah tidak memberitahukan pengalaman masa lalu dan kondisi kesehatan mental demi menampilkan citra profesional.
Fenomena ini turut dikaitkan dengan "Gen Z Stare" yang makin populer tak hanya di media sosial, tetapi juga di kehidupan sehari-hari di berbagai belahan dunia. Apa yang dilakukan gen Z di tempat kerja dianggap sebagai bentuk perlindungan diri yang juga merupakan batasan nonverbal.
Meski memiliki tujuan, melakukan quiet covering secara terus menerus memiliki dampak yang negatif. Salah satunya adalah menyebabkan stres yang cukup tinggi karena harus selalu "bermain peran". Energi dan fokus yang seharusnya dipakai untuk mengerjakan tugas bisa tersedot untuk menjaga citra dan mengendalikan persepsi orang lain.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, perusahaan perlu membuka ruang yang aman bagi karyawan untuk menjadi diri sendiri, melalui kebijakan inklusif dan komunikasi terbuka. Pemimpin bisa mencontoh dengan menyampaikan bahwa keberagaman bukan saja diterima, tapi dihargai.
Kedua, setiap orang bisa mulai pelan-pelan, misalnya dengan membagikan hal-hal tertentu tentang dirinya apabila merasa nyaman, serta mencari dukungan dari teman kerja atau senior.
Fenomena quiet covering menjadi pengingat bahwa dunia kerja tak hanya soal kinerja dan target, tetapi lingkungannya juga perlu lebih terbuka dan inklusif. Kendati demikian, peran individu juga tidak kalah penting. Setiap orang bisa belajar mengenali batasannya sendiri, kapan merasa aman untuk terbuka, dan kapan perlu menjaga privasi.
Dengan begitu, identitas pribadi tetap terlindungi tanpa harus terus-menerus menekan diri. Pada akhirnya, keseimbangan antara dukungan dari lingkungan dan keberanian individu untuk lebih jujur pada dirinya sendiri bisa membantu menciptakan pengalaman kerja yang lebih sehat. [rk]