ThePhrase.id – Istilah 'Brain Drain' belakangan ini tengah ramai digunakan oleh masyarakat Indonesia. Term ini digunakan untuk mendefinisikan fenomena kalangan intelektual, ilmuwan, hingga cendekiawan yang berpindah dari negara asalnya ke negara lain.
Perpindahan ini didasarkan atas berbagai faktor, tetapi pada umumnya disebabkan oleh adanya kesejahteraan dan peluang hidup yang lebih baik di luar negeri. Brain drain juga biasanya terjadi di negara berkembang yang berpindah ke negara-negara maju.
Dosen dan pakar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Tuti Budirahayu menjelaskan bahwa secara sederhananya, brain drain digambarkan sebagai keadaan di mana banyak orang yang memiliki keahlian atau kepandaian, tetapi tidak digunakan untuk membangun bangsanya, tetapi lebih memilih berkarier di luar negeri karena berbagai faktor.
"Bisa karena kesejahteraan hidup di luar negeri lebih baik, misalnya mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi, atau memang dibajak oleh negara lain atas dasar keahlian yang dimilikinya. Bisa juga mereka adalah para imigran yang secara politis tidak bisa kembali ke negaranya, atau juga karena pilihan hidup," paparnya, dikutip dari laman resmi Unair.
Namun, perpindahan ini merupakan fenomena yang kompleks. Pasalnya, brain drain dipicu oleh kombinasi dari faktor ekonomi, sosial dan juga politik. Berikut adalah beberapa penyebab brain drain:
1. Ketidakstabilan politik dan sosial
Berbagai konflik yang terjadi di negara asal seseorang dapat menjadi pemicu utama untuk melakukan perpindahan ke luar negeri. Termasuk di antaranya adalah konflik dan ketidakstabilan politik yang memengaruhi kehidupan di negara tersebut, hingga sistem pemerintahan yang tidak efektif dan memberatkan rakyatnya sehingga mendorong rakyat untuk keluar dari negara asalnya.
2. Kurangnya fasilitas atau infrastruktur
Selain kondisi politik dan pemerintahan, kurang baiknya infrastruktur hingga fasilitas yang menguntungkan bagi warga negara juga menjadi pemicu seorang intelektual pindah ke luar negeri. Terlebih lagi apabila berhubungan dengan pekerjaannya seperti fasilitas penelitian hingga teknologi yang terbatas di negara asalnya.
3. Peluang ekonomi yang lebih baik
Banyak dari para intelektual yang pindah ke negara yang lebih maju atau yang bisa memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik demi kesejahteraan hidup yang terpenuhi, yang mana tak didapat di negara asalnya.
4. Kurangnya penghargaan dan pengakuan
Meskipun memiliki ilmu yang bisa memajukan negara dengan kiprahnya di bidang masing-masing, banyak dari intelektual hingga cendekiawan yang kurang dihargai dan juga diakui di negara asalnya. Sedangkan, pada saat yang bersamaan, mereka dihargai di negara lain dengan diganjar berbagai keuntungan yang ditawarkan. Ini merupakan salah satu sebab brain drain terjadi.
Tentu fenomena brain drain memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap negara asal, terutama apabila dilakukan oleh banyak orang sekaligus.
Dampak paling utama adalah berkurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yang mana negara akan kehilangan individu-individu dengan potensi tinggi untuk berkontribusi terhadap pembangunan negara mulai dari ekonomi, teknologi, hingga sosial.
Jika hal ini terjadi, dan terlebih lagi dalam jumlah besar, maka akan terjadi ketimpangan sosial yang semakin tinggi antara negara maju dan negara berkembang di mana semakin banyak SDM berkualitas di negara maju, dan semakin berkurang di negara berkembang.
Negara yang ditinggalkan juga bisa mengalami penurunan produktivitas karena banyak dari orang-orang yang memilih untuk pindah negara adalah mereka yang berada di usia produktif.
Dikutip dari laman Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), di Indonesia, fenomena brain drain pernah terjadi dengan jumlah yang signifikan, meskipun tidak secara massal. Tercatat bahwa brain drain pernah terjadi cukup besar di era tahun 1960-an ketika perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Kala itu, banyak mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di luar negeri seperti Rusia atau di Eropa Timur memilih untuk tak kembali ke Indonesia karena perubahan politik tersebut. [rk]