ThePhrase.id – Desa Adat Ratenggaro terletak di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Desa ini memiliki keunikan sendiri sehingga menarik minat wisatawan baik lokal maupun dari luar negeri.
Keunikan yang mencolok adalah adanya ratusan kuburan batu yang berusia ribuan tahun, serta rumah adat yang memiliki bentuk khas dengan atap melancip ke atas. Selain itu, desa adat ini juga berlokasi di dekat pantai yang berpasir putih dengan air biru yang juga menjadi daya tarik wisatawan.
Asal Usul Nama Ratenggaro
Membedah nama Ratenggaro, dilansir dari laman Indonesia.go.id, rate pada nama desa adat ini berarti kuburan, dan garo merupakan nama suku di Sumba.
Kuburan batu di sekitar rumah adat desa Ratenggaro. (Foto: Wikipedia/Monica Renata)
Desa ini terbentuk hasil dari peperangan antarsuku yang mana salah satunya adalah Suku Garo. Sayangnya, perang ini memakan banyak korban dari Suku Garo, sehingga warga yang gugur dimakamkan di sekitar wilayah peperangan tersebut. Karena terdapat banyak kuburan, maka terbentuklah nama Ratenggaro.
Uniknya, kuburan yang dapat ditemukan hingga hari ini tersebut berbentuk batu. Bak menggunakan mesin waktu ke zaman batu, warga yang gugur tersebut dikubur dalam bebatuan yang disebut menhir. Jumlahnya mencapai 304 di sekitar desa tersebut.
Teknik mengubur menggunakan batu ini dikatakan telah diketahui dan digunakan oleh suku ini sejak zaman megalitikum. Bentuknya pun unik, yakni seperti meja batu datar yang ditopang oleh pilar yang juga berasal dari bebatuan.
Rumah Adat Ratenggaro
Rumah adat khas Sumba ini menarik perhatian dengan atapnya yang tinggi dan lancjp.
Eits, bukan tanpa alasan lho atas rumahnya ini dibuat lancip. Masyarakat Ratenggaro yang memegang kuat tradisi peninggalan para leluhur membangun rumah dengan atap yang menjulang tinggi sebagai penghormatan terhadap arwah para leluhur.
Selain itu, atap yang tinggi juga melambangkan status sosial. Rata-rata, tingginya mencapai 15 hingga 30 meter. Rumah ini terbuat dari material yang mengikuti aturan adat. Tiang utamanya terbuat dari kayu kadimbil atau kayu besi, atapnya dari alang-alang kering, bamu, dan kahi kara yang merupakan sejenis akar gantung, dan mengikat bangunannya menggunakan rotan.
Dari dalam, rumah ini memiliki empat tingkat. Karena rumah adat ini merupakan rumah panggung, maka tingkat pertamanya digunakan untuk hewan peliharaan warga. Sedangkan tingkat kedua merupakan tempat tinggal, tingkat ketiga digunakan untuk menyimpan hasil panen, dan tingkat terakhir digunakan untuk meletakkan tanduk kerbau sebagai simbol tanda kemuliaan.
Wisata Pantai Ratenggaro
Tak heran jika desa adat ini terkenal. Selain karena adatnya itu sendiri, di bawahnya terdapat pantai berpasir putih disertai air yang warna biru membentang dengan cantik. Wisatawan dapat menikmati pantai cantik ini sembari melihat pemandangan di sekitarnya yang penuh pepohonan hijau serta rumah adat Ratenggaro yang atapnya menjulang.
Pantai ini merupakan muara dari sungai Wai Ha, yang merupakan sungai terpanjang di Kabupaten Sumba Barat Daya. Namun, tak seperti sungai pada umumnya, sungai Wai Ha tidak berwarna keruh, sehingga pada muaranya juga tak ada campuran warna melainkan berair jernih. Hal ini dikarenakan sungai Wai Ha melintasi kawasan hutan belantara dan perkampungan adat yang memegang teguh kelestarian alam.
Pantai Ratenggaro. (Foto: tripsumba.com)
Gelombang laut dan ombak di Pantai Ratenggaro ini cukup besar karena berasal dari arus selatan Samudra Hindia. Maka dari itu, pantai ini cocok untuk wisatawan yang gemar berselancar.
Tetapi, pada siang hari ketika matahari menyinari dengan terik, beberapa titik pada pantai ini akan membentuk gosong atau pasir timbul yang menandakan airnya sedang surut. Bak laut terbelah, wisatawan dapat menikmati gosong ini dan berjalan di antara air pantai.
Wah, sangat autentik dan menawan ya desa adat Ratenggaro ini! Kepercayaan kuat pada tradisi peninggalan para leluhur yang masih dilaksanakan secara turun menurun ini menjadi alasan desa ini tetap lestari hingga sekarang. Apakah kamu berminat untuk mengunjunginya? [rk]