ThePhrase.id – Atlet para atletik Indonesia, Karisma Evi Tiarani menyumbangkan medali terakhir bagi Indonesia di ajang Paralimpiade Paris 2024. Medali yang disumbang oleh sprinter ini adalah medali perak, sehingga Indonesia meraih 8 medali perak.
Evi berhasil finis di posisi kedua pada nomor pertandingan 100 meter klasifikasi T42/63. Dengan catatan waktu 14,26 detik di klasifikasi T42, Evi bukan hanya meraih medali perak, tetapi juga mencetak rekor dunia baru.
Uniknya, rekor dunia yang ia pecahkan adalah yang dicetak oleh dirinya sendiri juga pada babak kualifikasi dengan catatan waktu 14,34 detik.
Terkait penjelasan mengapa dirinya dapat mencetak rekor dunia, tetapi finis di posisi kedua adalah karena klasifikasi yang diikutinya ini adalah gabungan antara T42 dan T63. Sprinter yang meraih medali emas adalah yang termasuk dalam T63, sedangkan dirinya termasuk dalam T42.
Atas kemenangan ini, Evi mengatakan bahwa dirinya tidak membayangkan dapat menang dan mengalahkan atlet-atlet lain di nomor dan klasifikasi tersebut. Pasalnya, terdapat sprinter trio asal Italia yang terkenal hebat, yakni Ambra Sabatini, Monica Contrafatto, dan Martini Caironi dan ketiganya termasuk dalam klasifikasi T63.
Namun, sebuah kejadian yang tak terduga terjadi ketika partai final tersebut berlangsung pada Sabtu (7/9) di Stade de France. Ambra Sabatini terjatuh dan membuat rekan satu negaranya, Monica Contrafatto juga ikut terjatuh di dekat garis finis.
Alhasil, Evi berkesempatan menyalip dan menjadi sprinter kedua yang tiba di finish line setelah Martina Caironi. Di belakangnya, Ndidikama Okoh dari Inggris menempati posisi ketiga.
"Ini luar biasa. Saya tidak membayangkan hal ini akan terjadi karena mereka (trio Italia) selalu tampil hebat. Saya pikir mereka sangat cepat setelah 60 meter. Ini sungguh menakjubkan," ujar Evi, dilansir dari keterangan resmi Komite Paralimiade (NPC) Indonesia.
Meski demikian, Evi juga memiliki strategi untuk dapat menang. Menurutnya, pelari yang menggunakan kaki buatan terlihat kesulitan di titik start. Untuk itu, ia berstrategi untuk meninggalkan mereka di 50 meter awal.
Kemenangan perempuan kelahiran 19 Januari 2001 pada Paralimpiade kali ini bak membayar kegagalannya untuk meraih medali pada Paralimpiade Tokyo 2020 lalu. Di nomor dan klasifikasi yang sama, Evi hanya mampu finis di posisi keempat dengan catatan waktu 14,83 detik kala itu.
Namun, meski gagal di Paralimpiade Tokyo 2020, Evi merupakan peraih medali berbagai kejuaraan lain seperti Asian Youth Para Games 2017, Asian Para Games 2018, World para Athletics Championships 2019, ASEAN Para Games 2023, World Abilitysport Games 2023, dan masih banyak lagi.
Dilansir dari laman Kemenpora, Evi telah memiliki keinginan untuk menjadi atlet setelah menyaksikan SEA Games 2011 Jakarta-Palembang melalui televisi. Terlahir sebagai tunadaksa, yakni orang yang memiliki perbedaan panjang kaki tidak membuat keinginannya pupus.
"Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Maksimalkan apa yang kita miliki saat ini. Jadikan ketidaksempurnaan sebagai batu loncatan untuk meraih hal yang lebih baik," begitu kata-kata Evi, dikutip dari laman Instagram Kemenpora.
Ia justru tergerak untuk menjadi atlet penyandang disabilitas pada cabor para atletik. Diketahui, ia mulai berlatih sejak tahun 2014 di Balai Pemusatan Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar Jawa Tengah.
Debut pertamanya sebagai atlet adalah di tahun yang sama pada ajang Pekan Paralimpiade Pelajar Daerah (Peparda) 2014 di nomor 100 meter T42. Hebatnya, ia langsung meraih medali emas. Dengan bekal ini, Evi terus berlatih dan mengikuti berbagai kejuaraan nasional dan internasional dan mengharumkan nama bangsa. [rk]