Thephrase.id – Satu tahun Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diwarnai pemberian karpet merah bagi tentara untuk menduduki jabatan sipil melalui Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia oleh DPR, yang dibahas secara kilat dan minim partisipasi publik.
DPR melangsungkan pembahasan di tengah kritikan dan penolakan publik, bahkan pembahasan itu dilakukan pada akhir pekan di salah satu hotel mewah di Jakarta. Dari hasil revisi tersebut, jabatan sipil yang bisa diduduki oleh tentara aktif bertambah dari 10 menjadi 14 K/L.
"Penarikan aparat (militer) ke urusan sipil yang itu mencederai semangat reformasi, merupakan hal-hal paradoks yang akhirnya menimbulkan gejolak,” kata Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, kepada ThePhrase.id, Selasa (14/10).
Selain itu, tentara juga dilibatkan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, di mana hal itu wilayah kewenangan kepolisian. Tentara turut aktif berjaga saat demonstrasi berlangsung, bahkan menjaga gedung-gedung pemerintahan. Pemerintah terkesan menutup telinga rapat-rapat saat publik meminta agar tentara dikembalikan ke barak, termasuk agar tidak menghidupkan dwifungsi TNI.
Prabowo sempat membantah penarikan tentara ke wilayah sipil sebagai wujud dwifungsi TNI. "Enggak ada niat TNI mau dwifungsi lagi. Come on, ya kan. Nonsens itu saya katakan. Tidak ada niat TNI yang keluar dari politik,” kata Prabowo di hadapan beberapa wartawan senior yang diundang ke rumahnya beberapa waktu lalu.
Berbagai elemen masyarakat menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah disahkan oleh DPR RI melalui sidang paripurna. Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto menyebut UU TNI disusun dengan mempertimbangkan prinsip negara kesatuan, penguatan teritorial, dan keadilan sosial.
“Kalau yang digugat ini kan pertama Pasal 7 OMSP (Operasi Militer Selain Perang). Itu soal perbantuan di pemerintah daerah, sudah kita jelaskan kenapa. Ini bagian dari konsep negara kesatuan dan penguatan teritorial, dan semuanya ada aturannya,” kata Utut saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan uji materiil UU TNI di MK, Kamis (9/10).
Menurut Utut, pelibatan TNI dalam membantu pemerintah daerah dilakukan atas permintaan resmi dari kepala daerah dan aparat keamanan setempat. “Jadi TNI membantu atas permintaan gubernur atau bupati, dan kapolda atau kapolresnya. Jadi soal itu aman,” ungkapnya.
Wasisto juga menyoroti tindakan represif aparat kepolisian terhadap masyarakat yang sedang menyuarakan aspirasinya di muka umum. Menangkap aktivis dan pendemo, bahkan berujung pada penahanan sebagaimana yang dialami Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen dan beberapa aktivis lainnya.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKB, Abdullah, menilai Prabowo berhasil menjaga keamanan nasional saat menghadapi gelombang demonstrasi yang sempat meluas di berbagai daerah pada akhir Agustus 2025. “Presiden Prabowo berhasil menunjukkan kepemimpinan yang tegas namun tetap humanis. Situasi yang semula berpotensi menimbulkan instabilitas berhasil dikelola dengan baik tanpa menimbulkan gejolak yang meluas,” kata Abdullah, Minggu (19/10) malam.
Di sisi lain, Prabowo menganggap demonstrasi yang dilakukan sebagai tindakan makar. “Membuat kerusuhan, membuat bom molotov, ini adalah kejahatan, ini bukan aktivis, bukan pejuang demokrasi, bukan pejuang keadilan. Mereka hatinya jahat, they are evil, mereka zalim,” kata Prabowo.
Wasisto menganggap langkah tersebut bertentangan dengan Asta Cita yang sudah dicanangkan Prabowo. Pertentangan itu terletak pada poin pertama dan ketujuh dari delapan poin Asta Cita. Poin pertama berbunyi “Memperkokoh Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM)”. Kemudian, “Memperkuat Reformasi Politik, Hukum, dan Birokrasi, serta Memperkuat Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Narkoba” bunyi poin ketujuh.
Menurutnya, pengabaian permintaan publik, represif, hingga penangkapan aktivis bertentangan dengan iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Narasi memperkokoh demokrasi dan reformasi politik, justru berjalan asimetris dalam realita.
Wasisto menukil data dari lembaga Freedom House ihwal kebebasan berekspresi. Berdasarkan catatan lembaga tersebut, Indonesia mengantongi skor 58 dari 100 pada 2023 dan 59 pada 2024.
“Yang mana kondisi perpolitikan masih diwarnai adanya berbagai aksi represif langsung maupun tak langsung. Kalau mengacu pada indikasi tersebut, maka perpolitikan tidak juga lebih baik dan tidak juga lebih buruk,” ucapnya.
Nasib sama dalam upaya memperkokoh HAM. Arogansi aparat dan ketulian pemerintah tak mencerminkan keinginan Prabowo dalam pelaksanaan HAM. Mirisnya, aparat yang melanggar seperti saat menabrak pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan hingga meninggal, hukuman yang diberikan justru tak sebanding dengan luka yang diderita keluarga korban. Mereka hanya dihukum minta maaf dan penundaan kenaikan pangkat.
“Selain itu, upaya pemberantasan korupsi dan narkoba akan diperkuat melalui penegakan hukum yang tegas dan kolaboratif, namun pada faktanya semua kebijakan dan perumusan undang-undang sebagian besar tertutup, koruptor diampuni. Selain itu, reformasi Polri juga masih belum menunjukkan arah signifikan,” paparnya.
Wasisto kembali menukil studi yang menyebut satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran berwatak otoritarian demokrasi. Artinya, institusi demokrasi terlihat secara fisik, namun hanya prosedural tanpa pelibatan aktif publik. “Studi lain menyebut Pemerintahan Prabowo sebagai populis militeristik, di mana pengerahan sumber daya negara diarahkan besar-besaran untuk berbagai program yang menyangkut kebutuhan dasar rakyat namun dijalankan dalam nalar militer,” tandasnya.
Pelaksanaan Asta Cita dalam upaya reformasi hukum dinilai berjalan ke arah sebaliknya. Preseden buruk yang dilakukan pada era Jokowi, dilanjutkan lagi di pemerintahan Prabowo.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona mengungkapkan bahwa sejumlah lembaga mencatat tren penurunan skor Indonesia dari tahun ke tahun, seperti yang dilakukan Indeks Demokrasi dari The Economist Intelligence Unit dan The Rule of Law Index (Indeks Negara Hukum) dari The World Justice Project.
Menurut Yance, catatan itu tercermin dalam pembentukan dan penegakan hukum yang tidak menunjukkan adanya perbaikan. Contohnya dalam pembentukan hukum yang melibatkan DPR dan pemerintah, proses legislasi itu tidak lebih baik dari sebelumnya, karena dilakukan secara ugal-ugalan dan minim partisipasi publik. Walhasil, peraturan maupun UU yang dibuat berkualitas buruk.
Selain itu, proses legislasi tersebut lebih memfokuskan pada sentralisasi kekuasaan seperti dalam revisi UU TNI dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) imbas adanya Danantara. Padahal, masih ada UU yang semestinya menjadi prioritas untuk segera diselesaikan seperti UU Masyarakat Adat dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT).
“Terakhir kita melihat bagaimana revisi UU TNI dan revisi UU BUMN yang dibuat tanpa partisipasi publik. Kita lihat kemarahan publik telah berujung pada protes yang besar untuk membubarkan DPR dan penjarahan rumah anggota DPR,” kata Yance kepada ThePhrase.id, Rabu (15/10).
Yance menyebut, selama satu tahun Prabowo menjabat belum ada langkah konkret dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak era Reformasi 1998. Supremasi hukum di Indonesia disebut belum dilakukan secara akuntabel. (M Hafid dan Rangga)