leader

Stanve Widjaja, Peraih 400 Penghargaan Matematika

Penulis Rahma K
Oct 05, 2021
Stanve Widjaja, Peraih 400 Penghargaan Matematika
ThePhrase.id - Stanve Avrillium Widjaja adalah salah satu anak bangsa yang membanggakan. Di usianya yang baru 18 tahun, ia telah memenangkan hampir 400 penghargaan pada mata pelajaran matematika. Salah satunya adalah medali emas pada International Mathematical Olympiad (IMO) pada tahun 2020.

IMO itu sendiri merupakan ajang olimpiade matematika paling bergengsi di dunia dan diikuti oleh berbagai negara termasuk kompetitor berat seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Pada IMO 2020 itu sendiri, terdapat 616 peserta dari 105 negara, dan Stanve yang baru duduk di bangku kelas 2 SMA berhasil menempati peringkat 22 dunia, terbaik dari seluruh peserta Indonesia.

Stanve Avrillium Widjaja, gold medalis IMO dan Tuymaada 2020. (Foto: ipeka.org)


Di tahun yang sama, ia juga memenangkan medali emas pada Tuymaada, olimpiade sains dari Rusia yang diselenggarakan setiap tahun. Ia berhasil memenangkan Gold Medal, Absolute Winner, dan menjadi Perfect Scorer.

Hebatnya lagi, Stanve mengikuti dua ajang olimpiade bergengsi tersebut untuk pertama kalinya, dan langsung berhasil memenangkan medali emas pada keduanya. Pada tahun 2021, Stanve kembali mengikuti IMO dan berhasil meraih medali perak.

Berbakat Sejak Kecil


Ternyata, bakatnya telah tumbuh sejak kecil. Dilansir dari wawancaranya dengan Detik, Stanve telah mencoba-coba ikut lomba sejak TK. Ia bahkan mengerti angka terlebih dahulu, daripada lancar bicara. Sang ayah menyatakan bahwa Stanve telat bicara, umur 2 tahun ia baru bisa mengucapkan 3 kata yakni ‘apa’, ‘papa’, dan ‘mama’.

Melihat anaknya kesulitan, orang tuanya memasukkan Stanve sekolah lebih dini. Guru Stanve mengatakan pada orang tua bahwa Stanve ini anak pintar. ‘Kalau dia liat angka tuh gak pernah salah,’ ungkap sang guru.

Stanve Avrillium Widjaja. (Foto: 20detik/detik.com)


Karena itu, kedua orang tua Stanve memasukannya ke kursus-kurus untuk mengasah kemampuannya. Hanya dalam waktu 6 bulan mengikuti kursus kumon, Stanve menempati peringkat 1 nasional kumon di umur 3,5 tahun. Ia juga berhasil menjadi juara nasional pada kursus Sakamoto setelah mengikutinya selama satu tahun.

Sang ayah menceritakan bahwa puncaknya adalah ketika kelas 2 SD, Stanve mengikuti lomba matematika di Malang yang mana lawannya adalah juara olimpiade dan sudah menduduki kelas 6 SD. Tetapi Stanve berhasil mengalahkannya dan menempati peringkat 19 besar.

Tak heran, Stanve mengakui bahwa saat SD IQ-nya di atas rata-rata yakni 120-130an. Ia telah memiliki kemampuan dan bakat, yang kemudian terus diasah sehingga makin berkembang.

Menyukai Matematika


Stanve memang paling menyukai matematika sejak SD. Meski juga penasaran dengan pelajaran lain seperti fisika, di SD dan SMP, ia lebih fokus hanya pada matematika di SMA. Remaja yang sekolah di SMA IPEKA BSD ini mengatakan ia belajar lebih banyak dari komunitas luar sekolah. Dengan teman-teman lain, belajar bersama, membawa yang dipunya dan dibagikan ke sesama.

“Di sini ada unsur preferensi dan kemampuan. Saya suka (matematika) pun karena sudah ada kemampuan dari SD. Jadi pas ditempa bisa naik, karena suda ada bakat sebelumnya dan usaha,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa kesukaannya pada bidang matematika berubah-ubah sejak SD hingga SMA. Di SD ia lebih senang dengan aljabar, di SMP ia gemar mengerjakan geometri, sedangkan saat SMA ia lebih menyukai kombinatorik.

International Mathematical Olympiad 2020. (Foto: tirto.id/Dok. IPEKA)


Menurut Stanve, matematika adalah sebuah kanvas di mana ia dapat mencoba banyak hal tanpa perlu merasa takut.

“Bagi aku matematika itu kanvas bebas, di mana aku bisa mencoba banyak hal karena gak perlu takut salah. Kalau misalnya salah, kita bisa ngecek kalo kita salah atau enggak Jadi exact-nya itu kayak ‘no room for error’ jadi kita bisa explore,” ujar Stanve pada Detik.

Pernah Kalah


Telah mengikuti berbagai perlombaan hingga olimpiade matematika sejak SD, Stanve jarang mengenal kata kalah. Ia hampir selalu mendapatkan medali emas. Namun, ketika ia tidak mendapatkan apa yang ia harapkan, ia bukan menyerah atau bahkan marah.

Saat SMA ia pernah mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan ‘hanya’ mendapatkan medali perak. Padahal semua orang sudah yakin ia akan memenangkan medali emas seperti biasa. ‘Kekalahan’ tersebut ia terima dengan lapang dada dan disertai pemikiran bahwa terdapat faktor X seperti kertas yang tidak terkumpul, dan lain-lain.

“Jadi kaya aku terima aja ya memang harus gini kali biar ga menang terus, kan setiap orang pasti harus kalah gitu,” ungkap Stanve.

Merasa Rendah


Stanve Avrillium Widjaja. (Foto: tirto.id/Dok. IPEKA)


Meski telah memenangkan berbagai olimpiade, bahkan mendapat medali emas pada olimpiade paling bergengsi di dunia, Stanve masih merasa kurang. Sang ayah mengatakan bahwa kelebihan Stanve adalah kekurangannya juga.

“Stanve tidak pernah menganggap dirinya bahkan mendekati cukup. Dia selalu menganggap dirinya rendah, lebih rendah dari kenyataannya. Ini kelemahan dia. Dia merasa minder, padahal levelnya sudah internasional. Kelebihannya, karena merasa dirinya kurang, dia selalu belajar, haus untuk meningkatkan diri. Bahkan pada saat saya merasa dia sudah cukup,” ungkap sang ayah.

Cita-cita


Sejak SMA ia bercita-cita sebagai profesor matematika. Tetapi, itu bukanlah hal yang mutlak. Baginya, ia masih harus mengeksplorasi apa yang ingin ia geluti di masa depan. Jadi menurutnya, cita-citanya dapat berganti sesuai zaman.

Stanve kini berkuliah di National University of Singapore (NUS) pada jurusan matematika. Ia baru saja memulai kehidupan kuliahnya dan baru menjalani semester 1. [rk]

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic